Senin 11 Sep 2017 14:49 WIB

3,4 Juta Warga Indonesia Belum Kenal Huruf

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.
Foto: Humas DPR RI
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) menyatakan, angka bebas buta aksara di Tanah Air mencapai 97,93 persen. Ini artinya, sekitar 2,07 persen atau 3,4 juta warga masih belum mengenal huruf dan mampu membaca.

Jumlah buta aksara di Tanah Air terjadi pada usia 15-59 tahun yang tersebar di 11 provinsi. Sebanyak 28,75 persen warga di Papua masih belum mampu mengenal huruf dan membaca. Hal itu mengakibatkan Papua menjadi provinsi paling tinggi angka buta hurufnya.

Selain Papua, sejumlah provinsi di Indonesia juga masih buta huruf dan belum mampu membaca. Sebanyak 7,91 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), 5,15 persen di Nusa Tenggara Timur (NTT), 4,58 persen di Sulawesi Barat, 4,50 persen di Kalimantan Barat, 4,49 persen di Sulawesi Selatan, 3,57 persen di Bali, 3,47 persen di Jawa Timur, 2,90 persen di Kalimantan Utara, 2,74 persen di Sulawesi Tenggara, dan 2,20 persen di Jawa Tengah.

Dari indeks buta huruf di dunia, berdasarkan riset dari Rektor Universitas Central Connecticut State di New Britain, John Miller, menyatakan, pada 2016 Indonesia masih menempati peringkat 60 dari 61 negara yang berhasil dihimpun datanya.

Riset ini menekankan pada hasil ujian mengenal huruf dan juga melihat karakteristik sikap terpelajar. Contohnya, jumlah perpustakaan dan koran di sekolah serta ketersediaan komputer di sebuah negara. Sehingga pada riset ini tidak hanya melihat kemampuan penduduk negara dalam membaca dan menulis saja, namun juga perangkat pendukung dan sikap terpelajar warganya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengaku, prihatin melihat jumlah angka buta huruf di Tanah Air. Dia mengatakan, pemerintah terutama Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) perlu mendukung guna menekan tingginya jumlah warga yang buta huruf.

"Program pemberantasan buta aksara ada di Ditjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud, namun yang terus memantau tingkat buta huruf negeri ini adalah Perpurnas. Sayangnya, koordinasi diantara kedua pihak belum terlihat," kata Abdul Fikri, Senin (11/9).

Di sisi lain, anggaran untuk meningkatkan daya masyarakat untuk mampu mengenal huruf dan mampu membaca masih tergolong rendah dibandingkan di negara-negara ASEAN. Misalnya, Singapura mengalokasikan anggaran untuk institusi seperti Perpusnas hingga Rp 1,7 triliun per tahun, Malaysia sampai Rp 66,8 triliun, namun Indonesia hanya Rp 500 milar. "Padahal jumlah penduduk mereka sangat jauh lebih sedikit dibandingkan kita," tegasnya.

Faktor lain yang menjadi pemicu tingginya angka buta huruf di Indonesia adalah rendahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Seharusnya, pemerintah daerah saling melengkapi tidak harus terus bergantung dengan pemerintah pusat.

"Namun, faktanya pemerintah daerah masih tergantung pemerintah pusat terutama dari sisi anggaran, karena memang pendapatan asli daerah (PAD) maksimal hanya 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN). 90 persen anggaran daerah selama ini berasal dari pemerintah pusat berupa dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU), dan dana bagi hasil," kata Abdul. Fikri

Pada 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Internasional, Abdul Fikri berharap, di peringatan Hari Aksara Internasional ini menjadi kesempatan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat untuk dapat merenungkan kembali tentang keaksaraan, termasuk tingginya angka buta huruf di Indonesia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement