REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Korea Utara mengatakan Amerika Serikat (AS) akan menanggung akibat karena telah mendorong sanksi baru terhadap Pyongyang. Dewan Keamanan PBB diperkirakan akan melakukan pemungutan suara untuk mengeluarkan resolusi baru yang diajukan AS, pada Senin (11/9).
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut yang tidak disebutkan namanya, mengklaim bahwa AS tengah panik sehingga membuat resolusi sanksi yang paling keras yang pernah ada. "AS pada akhirnya mengeluarkan resolusi yang ilegal dan melanggar hukum atas sanksi yang lebih keras, Korut harus benar-benar yakin AS akan menanggung akibatnya," ujar pejabat tersebut, dikutip media pemerintah Korut, KCNA.
Sanksi baru tersebut termasuk embargo minyak ke Korut dan larangan bepergian bagi pemimpin Korut Kim Jong-un. Namun, Cina dan Rusia yang memiliki hak veto sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, mengatakan enggan memberikan sanksi lebih keras untuk Korut.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan sanksi embargo minyak akan berdampak negatif bagi masyarakat Korut. "Saya khawatir pemotongan pasokan minyak ke Korea Utara dapat menyebabkan gangguan di rumah sakit atau kepada warga biasa lainnya," katanya kepada kantor berita Korea Selatan Yonhap, Rabu (6/9).
Cina juga menolak untuk menghentikan pasokan minyak ke Pyongyang. Beijing mengendalikan sebuah pipa yang memasok sekitar 520 ribu ton minyak mentah ke tetangganya Korea Utara setiap tahun.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengutuk perilaku ceroboh Korut yang kembali melakukan uji coba nuklir. Ia mengatakan tindakan Kim Jong-un menghadirkan ancaman global yang memerlukan respons internasional. "Kami sekarang benar-benar fokus pada bagaimana kita dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik yang damai," katanya kepada BBC.