REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi dilaporkan telah menjalin komunikasi via telepon pada Senin (18/9). Keduanya membahas beberapa isu, terutama tentang rencana referendum Pemerintah Daerah Kurdistan di Irak yang akan digelar pada 25 September mendatang.
Erdogan dan Abadi diketahui memiliki sikap yang sama terkait rencana referendum warga Kurdi Irak. Keduanya menolak rencana tersebut karena dikhawatirkan akan memicu separatisme dan mengancam keamanan nasional, tidak hanya Irak, tapi juga Turki dan Iran.
"Kedua pemimpin (Erdogan dan Abadi) menekankan pentingnya integritas teritorial Irak dan sepakat bahwa desakan mengadakan referendum akan meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut," kata seorang sumber di kantor kepresidenan Turki, seperti dikutip laman Anadolu Agency.
Keduanya, kata sumber tersebut melanjutkan, membahas tentang keputusan Mahkamah Agung Irak, pada Senin (18/9), yang memutuskan menangguhkan referendum warga Kurdi. "Kedua pemimpin sepakat bahwa keputusan Mahkamah Agung Irak menunda referendum adalah benar," ucapnya.
Erdogan dan Abadi juga membahas isu-isu lain, di antaranya tentang terorisme, termasuk ISIS dan pemberontakan Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, pada Ahad (17/9), telah mendesak warga Kurdi di Irak agar membatalkan rencananya menggelar referendum kemerdekaan akhir bulan ini. Menurut Guterres, hal tersebut akan mengganggu pertempuran melawan milisi ISIS.
Guterres mengatakan setiap perselisihan antara Pemerintah Irak dan Pemerintah Daerah Kurdistan harus diselesaikan melalui dialog dan kompromi yang konstruktif. "Keputusan sepihak (warga Kurdi) untuk menggelar referendum saat ini akan mengurangi kebutuhan untuk mengalahkan milisi ISIS," katanya seperti dilaporkan laman Aljazirah, Senin (18/9).