REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Saleh Partaonan Daulay, meminta Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI segera melakukan penataan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Sampai hari ini, kata Saleh, pihaknya mencatat masih banyak persoalan TKI yang menuntut segera untuk diselesaikan.
"Persoalan tersebut antara lain gaji tidak dibayar, over stay, TKI ingin dipulangkan karena satu dan lain hal, meninggal dunia di negara tujuan, gagal berangkat, putus komunikasi dengan pihak keluarga,
sakit atau rawat inap, tindak kekerasan oleh majikan, pekerjaan dan gaji tidak sesuai kontrak kerja, dan tidak dipulangkan dan masih dipekerjakan padahal kontrak kerja telah selesai," ujar Saleh dalam siaran pers diterima Republika.co.id, Selasa (26/9).
Selain itu, secara kasat mata, masih banyak ditemukan tenaga kerja Indonesia yang berangkat secara ilegal. Hasil pengamatan komisi IX dan juga Tim Pengawas (timwas) TKI DPR, TKI ilegal dan tidak prosedural justru banyak diberangkatkan ke Timur Tengah. Akibatnya, pemerintah kesulitan untuk melakukan pendataan secara benar.
Menurut Saleh, kalau berangkatnya ilegal dan tidak prosedural, pasti tidak akan tercatat. Jika sewaktu-waktu ada masalah, barulah kemudian perwakilan RI di luar negeri dibuat sibuk. "Tentu saja penyelesaian masalah-masalah TKI yang seperti ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan mereka yang berangkat melalui jalur formal dan prodedural," ujarnya.
Lanjut Saleh, keberangkatan TKI secara ilegal dan tidak prosedural ditenggarai sebagai imbas dari moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah. Di satu sisi, moratorium tersebut dinilai dapat memperbaiki citra Indonesia di seputar kawasan Timur Tengah. Namun di sisi lain, kata Saleh, ada banyak kasus, seperti ditemukan adanya pemberangkatan yang dilakukan secara diam-diam dan tidak mengikuti prosedur resmi.
Kemudian ketika melakukan pengawasan ke Qatar dan Saudi beberapa waktu lalu, pihaknya menemukan banyak TKI bermasalah yang saat ini berada di penampungan yang dikelola kantor perwakilan. Karena berangkat secara tidak benar, memulangkan mereka juga menjadi sulit. Termasuk ketika Arab Saudi melakukan kebijakan amnesty, banyak di antara mereka yang tidak mau mendaftarkan diri untuk dipulangkan.
"Masalahnya, mungkin karena dokumennya tidak beres, atau takut dipulangkan dan tidak bisa kembali lagi akibat kebijakan moratorium tersebut," kata Saleh.
Oleh karena itu Komisi IX DPR meminta kepada pemerintah untuk segera menyikapi persoalan ini secara arif. Kalaupun moratorium itu tidak dibuka secara luas, setidaknya pemerintah dapat menerapkan kebijakan pengiriman terbatas dan bertanggung jawab. Kebijakan seperti ini diyakini akan dapat mengurangi keberangkatan secara ilegal dan tidak prosedural tersebut.
"Yang paling pokok adalah pemerintah mengetahui berapa yang berangkat, diberangkatkan oleh siapa, kemana, pekerjaannya apa, dan kejelasan kontrak kerja," ujarnya.
Dengan begitu, jika ada masalah, pemerintah dapat meminta pertanggungjawaban mereka-mereka yang memberangkatkan. Lagi pula, sambungnya, negara sudah semestinya memberikan ruang bagi warganya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kalau di dalam negeri sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan dianggap layak, negara tentu bisa saja memberikan pilihan bagi mereka untuk bekerja di luar negeri dengan cara-cara yang benar.
"Hal ini secara tegas juga diatur dalam UUD 1945 NRI, khususnya Pasal 27 ayat (2), dimana disebutkan bahwa Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," tutup Saleh.