REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) belum mendapat laporan indikasi pelanggaran terkait sidang praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanyo melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara MA Suhadi menjelaskan terkait proses pemeriksaan perkara maupun putusan, sepenuhnya adalah kewenangan hakim, tidak boleh diintervensi.
"Ya ini baru Jumat (29/9) sore putusannya, kemudian Sabtu, Minggu libur, saya tidak tahu, baru masuk hari ini, tetapi saya belum dapat laporan dari Badan Pengawas," kata Suhadi pada Republika.co.id, Senin (2/10).
Tetapi, Suhadi mengungkapkan peluang evaluasi pedoman perilaku hakim. MA berkewenangan melakukan pemeriksaan indikasi pelanggaran kode etik tentang pedoman perilaku hakim. Salah satu petunjuknya merujuk PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
MA maupun KY, menurut dia, tidak bisa menyatakan salah atau benarnya sebuah putusan, karena itu kewenangan hakim. Hakim lah yang memutus pertama dan terakhir. "Silakan saja tugasnya sesuai porsi masing-masing. Ya ndak bisa kita nyatakan itu apa namanya salah atau benar putusan itu, karena praperadilan kewenangan hakim," kata Suhadi menambahkan.
Hakim tunggal sidang praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar, pada Jumat (29/9), mengabulkan sebagian permohonan Novanto. Salah salah satu pertimbangan putusannya, Cepi menilai bahwa penetapan tersangka Setya Novanto tidak sesuai prosedur sebagaimana KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan referensi lainnya.
Sebelum Hakim Cepi menjatuhkan putusannya, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah merangkum enam kejanggalan dari proses persidangan praperadilan Setya Novanto yang sepekan terakhir lalu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, sepanjang KPK masih memiliki paling sedikit dua alat bukti yang sah, KPK masih tetap dapat menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Salah satu kuasa hukum Setya Novanto, Agus Trianto, Sabtu (30/9), mengapresiasi putusan hakim praperadilan yang mengabulkan sebagian permohonan terhadap penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus proyek pengadaan KTP-el. Namun, Agus tidak ingin menanggapi saat ditanya jika kliennya ditetapkan tersangka kembali oleh KPK.