REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak menanggapi kesan-kesan Islami yang diisyaratkan dalam peringatan HUT ke-72 TNI, di Cilegon, Banten, Kemarin. Tokoh (NU) dan Muhammadiyah menekankan pentingnya menjaga hubungan antara TNI dan umat Islam.
Ketua Pengurus Besar NU KH Marsudi Syuhud menyampaikan hubungan antara TNI dan umat Islam yang menjadi bagian dari rakyat Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Kuatnya TNI, kata Kiai Marsudi, adalah ketika bersama rakyat.
"Hubungan TNI dengan rakyat, tidak hanya sekadar dengan umat Islam, itu adalah sebuah keniscayaan karena kuatnya TNI adalah bersama rakyat. Sampai sekarang hubungan TNI dan rakyat itu masih baik," kata Kiai Marsudi kepada Republika, Kamis (5/10).
Marsudi melanjutkan, hubungan antara TNI dan para ulama pun harus terus dijaga. Sebab, ulama dan umat Islam itu bagian dari rakyat.
Nahdlatul Ulama pun telah menjalin kerja sama berupa pakta pertahanan dengan TNI untuk bersama-sama melawan perang proxy. “Dengan itu pastilah tentara akan bersama rakyat. Karena mayoritas di Indonesia memeluk Islam, tentu bersama umat Islam," ujar Kiai Marsudi.
Kiai Marsudi mengakui, perang memang mudah pecah. Contohnya ada pada beberapa negara yang tadinya aman, tapi kemudian terjadi konflik peperangan. Namun, di Indonesia, menurut dia, jika rakyat dan tentara itu sama-sama menjalin kerja sama yang baik, skenario perpecahan sukar dilancarkan.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berpandangan figur kepemimpinan Panglima TNI sejauh ini telah memberikan pembelaan proporsional terhadap ulama dan kepentingan umat Islam terkait kepentingan nasional.
"Saya kira figur-figur ke depan diharapkan harus seperti itu, siapa pun yang memimpin TNI. Tentu juga dengan umat-umat agama lain," ujar Din yang menjabat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemarin.
Din mengingatkan, akar TNI secara khusus adalah satuan-satuan keamanan rakyat di kalangan umat Islam. Saat itu, ada barisan Hizbullah dari NU dan Hizbul Wathan dari Muhammadiyah.
Hizbul Wathan sebagai gerakan kepanduan dan organisasi otonom Muhammadiyah pada masa kemerdekaan dipimpin oleh Jenderal Soedirman yang kemudian menjadi pendiri TNI.
"Sering kami di Muhammadiyah itu berbangga dan mengatakan bahwa dalam TNI itu mengalir darah Muhammadiyah, dan sosok Soedirman sampai sekarang tetap dijadikan idola oleh prajurit-prajurit TNI," tuturnya.
Cendekiawan Muslim KH Didin Hafidhuddin mengatakan, hubungan umat Islam dan TNI ke depannya harus semakin kuat. Kuncinya, kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Dewan Dakwa Islamiyah Indonesia (DDII) ini adalah untuk tetap menjalin komunikasi yang baik.
TNI dan umat Islam, menurut Kiai Didin, tidak perlu lagi diragukan perihal kesetiaannya dalam menjaga bangsa dan negara, juga terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Pasalnya, dua kelompok besar inilah yang sejak lama turut andil melahirkan NKRI dan Pancasila
Meskipun sudah memiliki nilai sejarah tersendiri, Kiai Didin mengingatkan umat Islam dan TNI tetap harus terus berupaya untuk memperkuat hubungan yang sudah terjalin lama itu. Kiai Didin juga mengharapkan umat Islam juga bukan saja dekat dengan TNI, melainkan juga mampu menjalin hubungan dengan kepolisian.
Sepanjang sejarah republik, hubungan TNI dengan umat Islam memang tak selalu berjalan mulus. Selepas bersama-sama memberantas PKI pada 1965-1966, tentara pada rezim Orde Baru beberapa kali terlibat gesekan dengan kelompok-kelompok umat Islam. Presiden Soeharto kala itu baru mencoba mendekati umat Islam pada akhir-akhir masa pemerintahannya.