REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Natana J De Long-Bas dalam artikelnya untuk Oxford Islamic Studies menunjukkan, dunia dalam dasawarsa pertama abad ke-21 menyaksikan sejumlah kekerasan atas simbol-simbol agama. Menurut dia, fenomena ini menandakan adanya jurang kesepemahaman antarumat.
Meskipun kekerasan semacam itu bukanlah barang baru, kemudahan akses informasi saat ini justru berpeluang memperlebar jurang demikian, misalnya, dengan siaran kabar bohong (hoax), stigma, atau penindasan.
Beberapa pemikir Barat sebenarnya sudah mendeteksi potensi mencuatnya isu konflik antarumat beragama. Hal ini seturut dengan berakhirnya Perang Di ngin yang ditandai keruntuhan Uni Soviet pada 1991.
Pada 1992, ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama menulis buku The End of History and the Last Man. Karyanya itu menadaskan bahwa demokrasi liberal akan menjadi sistem universal yang dianut umat manusia sejak tumbangnya komunisme.
Tidak lama kemudian, pada 1993 akademisi Harvard University Samuel Phillips Huntington pada 1993 mengajukan teori benturan antar-per adaban.
Berbeda dengan Fukuyama yang masih dalam konteks negara-bangsa, Huntington berpendapat bahwa identitas kultural, termasuk agama-agama, akan menjadi potensi konflik pada tataran global.
Satu hal yang digarisbawahi Huntington adalah, kelompok ekstremis Islam akan menjadi ancaman paling nyata bagi ketertiban dunia. Sampai akhir abad ke- 20, teori Huntington hanya sebatas abstraksi. Namun, sejak 11 September 2001 ekstremisme telah menemukan penge jawantahan setidaknya seturut dengan framing media massa arus besar internasional. Trauma selepas Insiden 9/11 yang terjadi di AS menumbuhkan situasi dikotomis antara Barat di satu sisi dan dunia Islam di sisi lain.
Imajinasi tentang rakyat (baca: umat agama) lain sebagai musuh juga dipicu pidato bernada hasutan dari presiden AS ke-43, George Walker Bush, tentang Poros Iblis (axis of evils) pada 29 Januari 2002. Bush mengklaim bahwa Irak, Iran, dan Korea Utara ialah negara-negara yang berbahaya. Sekitar satu tahun setelahnya, AS menginvasi Irak, negeri yang sampai detik ini tak kunjung usai didera nestapa.
Semboyan perang melawan terorisme acapkali menyudutkan Islam dan umat Islam. Kemunculan ISIS, yang sampai kini mengacaukan situasi di Timur Tengah (kecuali Israel, anehnya), kian memperparah wajah Islam di tataran global.
Di poin inilah studi Islam mengambil peran sebagai jembatan atas jurang kesepahaman. Tema yang mengemuka adalah dialog antarumat beragama. Di antara para pengkajinya, ada beberapa nama yang cukup dikenal luas dalam studi Islam di tingkat global, yakni Prof John Louis Esposito, Timothy John Winter alias Syekh Abdal Hakim Murad, dan Tariq Ramadan.
Mereka cenderung memiliki ke sa maan visi dalam studi Islam yakni membela Islam dari stigma-stigma dan generalisasi buruk serta menegaskan kontribusi ak tif agama ini bagi sejarah peradaban dunia.