REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gambaran Leon Buskens dalam kata pengantar buku Islamic Studies in the Twenty-first Century menandaskan hal itu. Dia menjelaskan, sejak awal abad ke- 19, pertanyaan terbesar studi Islam adalah bagaimana memerintah (to govern) umat Islam di negeri-negeri koloni, semisal India (jajahan Inggris Raya), Indonesia (jajahan Belanda), dan belakangan Aljazair (jajahan Prancis).
Dalam abad ke-20, lanjut Buskens, tema pemerintahan kolonial masih me ngemuka. Di masa ini, dunia menyaksikan dua perang akbar. Studi Islam oleh Barat berfokus pada bagaimana meredam sema ngat jihad yang digelorakan Kesultanan Usmaniyyah di kancah Perang Dunia I. Kekhilafahan terakhir dalam dunia Islam itu buyar pada 1924. Selanjutnya, giliran Perang Dunia II terjadi sampai tahun 1945.
Di sini, studi Islam tidak terlalu memainkan peran penting. Sejak usainya Perang Dunia II, fajar poskolonialisme muncul. Banyak negara-negara mayoritas Muslim yang memproklamasikan kemerdekaan. Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, Indonesia, ikut menumbuhkan kesadaran ke bangsaan negeri-negeri Muslim di dua benua besar itu.
Sampai pengujung abad ke-20, tema demokrasi ikut mewarnai hubungan Barat dengan dunia Islam. Kaum Muslim tidak lagi men jadi orang asing (aliens), melain kan juga orang lain (the others) yang setara, bagi Barat. Khususnya sejak abad ke-21 bermula, studi Islam konsen pada tema kehadiran komunitas Muslim di negeri-negeri Eropa dan Amerika.
Demokrasi memungkinkan mereka untuk dilindungi hak-haknya, termasuk ihwal kebebasan berserikat dan beragama (atau tidak beragama). Selain tema so sialdemografis itu, persoalan geopolitik juga menjadi fokus kajian.
Nuansanya bukan lagi melanggengkan pemerintahan kolonialan sich, melainkan hubungan internasional antarnegara berdaulat.
Dalam hal ini, isu yang paling hangat adalah kendali atas sumber-sumber mi nyak di Asia Barat (Timur Tengah). Peris tiwa invasi AS atas Irak, misalnya, me rupakan be berapa contoh korpus kajian studi Islam dalam milenium kedua ini.
Dari perspektif Barat, ada pergeseran titik keberangkatan studi Islam sejak masa transisi abad ke- 20 menuju abad ke-21. Pergeseran itu ialah dari pendekatan filologi dan kesejarahan menjadi antropologi dan ilmu-ilmu sosial.
Buskens mencatat, di kampuskampus sejumlah negara Barat pendekatan antropologi pun lesap menjadi pendekatan ilmu-ilmu politik dengan turunannya, semisal studi hubungan internasional atau studi keamanan (security studies).
Barang kali, nuansa ingin 'men jinak kan' umat Islam sebagai aliens, bukan the other, dapat terbaca dari kajian yang tersebut terakhir itu.