REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerangka hukum pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) masih menimbulkan perdebatan sejumlah pihak. Pasalnya, kerangka hukum pembentukan Densus Tipikor juga berkaitan dengan kewenangan yang akan dimiliki densus antirasuah tersebut.
Kapolri Jenderal Polri Tito Karnavian berharap agar setidaknya Kejaksaan Agung menyiapkan tim khusus untuk penuntutan korupsi agar penanganan perkara tidak bolak balik dari Densus Tipikor ke Kejaksaan. Praktisi hukum Persatuan Jaksa Indonesia, Redha Manthovani menilai, solusi agar penanganan perkara korupsi atau perkara pidana lainnya menjadi lebih efisien adalah dengan merevisi UU No.8/1981 tentang KUHAP.
"Kalau ingin memperbaiki sistem, Revisi KUHAP harus ditindaklanjuti di DPR, dari zaman SBY masih didiamkan," ujarnya di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (22/10).
Proses yang dimiliki oleh KUHAP, menurut Reda, saat ini menyebabkan bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum. Selain itu, tidak adanya pengawasan horizontal atas tindakan yang telah dilakukan oleh penyidik oleh penuntut umum menyebabkan seringkali suatu penyidikan tidak ditindaklanjuti ke tahap berikutnya oleh penyidik.
Terkait pembentukan Densus Tipikor, bila mengacu pada pernyataan Kapolri, maka Densus Tipikor akan dibuat seperti Densus 88 Antiteror. Namun hal tersebut masih membatasi kewenangan Densus Tipikor. "Tapi kalau penuntutan, Perkap (Skep - red) tidak bisa. Perpres pun juga tidak bisa, kalau Perpres maksa, maka masih melanggar KUHAP," ujar dia.
Sehingga, RUU KUHAP bisa menjadi solusi Alternatif. RUU KUHAP yang telah disusun oleh tim yang dibentuk Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya telah menjawab permasalan tersebut. Dalam RUU tersebut banyak perubahan mendasar terkait hubungan antara sub sistem penegak hukum yang saling mengisi dan mengawasi satu sama lain.