Senin 23 Oct 2017 11:14 WIB

Alexander Soeriyadi Ilmuwan Finalis Eureka Prize di Aussie

Alexander Soeriyadi ilmuwan asal Indonesia di UNSW Sydney
Foto: Istimewa
Alexander Soeriyadi ilmuwan asal Indonesia di UNSW Sydney

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Alexander Soeriyadi adalah ilmuwan asal Indonesia yang sekarang bekerja di University of New South Wales (UNSW) di Sydney di bidang Kimia. Bersama dua sejawat seniornya Professor Justin Gooding dan Dr Parisa Khiabani, Alexander baru-baru ini menjadi finalis di ajang penelitian bergengsi di bidang sains di Australia bernama Eureka Prize.

Tim dari UNSW ini merupakan salah satu dari 15 finalis yang masuk dalam Eureka Price dimana pemenangnya berbagi hadiah keseluruhan yang berjumlah 150 ribu  dolar AS (sekitar Rp 1,5 miliar).

Berikut perbincangan antara wartawan ABC dengan Alexander Soeriyadi lewat email.

Saya dulu berasal dari Jakarta, dimana saya menghabiskan SD di Sekolah Bunda Hati Kudus, dan kemudian melanjutkan pendidikan SMP dan SMA di Santa Laurensia di Serpong, Tangerang.

Ibu saya dulu adalah seorang bankir namun sekarang menjadi ibu rumah tangga. Saya memiliki dua orang adik yang keduanya juga sekarang tinggal di Sydney.

Satu sedang menjadi peneliti postdoctoral di bidang Photovoltaic Engineering di UNSW dan satu lagi sedang menyelesaikan pendidikan Phd di bidang Biotechnology and Biomolecular Science juga di UNSW.

Saya sendiri menyelesaikan pendidikan S1 juga di UNSW, dan juga PhD di tempat yang sama di bidang Kimia.

Ceritakan sedikit mengenai keikutsertaan di Eureka Prize?

Proyek kami yang berhasil masuk sebagai finalis di Eureka Prize berjudul “Smart Sunsensor”. Projek ini dimulai di tahun 2013-2014. Saat itu supervisor postdoctoral saya, Prof. Gooding memiliki ide untuk membuat sensor yang bisa dilekatkan di tubuh, yang akan bisa memberikan radiasi sinar matahari.

Di negeri seperti Australia, mengetahui radiasi sinar matahari penting sekali karena kasus kanker kulit cukup tinggi dan juga indeks ultra violet (UV) yang sangat tinggi terutama di musim panas. Dari ide itu, saya membuat konsep dan teknologinya yang akhirnya menjadi prototipe yang siap untuk diujicobakan.

Dr Parisa Khiabani bergabung dengan tim kami di tengah perjalanan proyek ini dan di tahun 2016 proyek ini sukes dengan penerbitan penelitian di jurnal dan juga hak paten.

Walau tidak menang, bagaimana perkembangan penelitian yang dilakukan berkenaan dengan hal tersebut?

Proyek ini sekarang sudah dalam tahap proses paten di UNSW dan kami sudah memberikan lisensi ke perusahaan yang akan menjadikannya produk komersial. Target kami adalah bahwa produk ini akan tersedia di pasar 2-3 tahun ke depan.

Jadi sensor ini akan berbentuk seperti stiker, dan bisa ditempelkan di tubuh pemakai untuk mengecek sinar matahari ketika berada di luar ruangan.

Sensor ini akan berubah menjadi bila terkena sinar matahari dalam kadar tinggi, sehingga pemakainya bisa mengetahui apakah dia harus melindungi tubuhnya dengan krim pelindungi matahari atau tidak.

Sensor matahari yang bisa ditempelkan di tubuh
Sensor yang dikembangkan tim UNSW ini akan berubah menjadi putih bila tubuh terlalu banyak kena sinar matahari.

UNSW/Grant Turner - Mediakoo

Anda juga mendapatkan dana penelitian untuk melakukan penelitian sediri? Penelitian apa lainnya yang sedang kamu lakukan saat ini?

Untuk saat ini dan masa depan, saya memfokuskan penelitian saya pada penggunaan bahan alami dan sumber daya yang bisa kita gunakan dan bermanfaat bagi orang banyak di bidang pertanian dan kesehatan. Dua bidang ini adalah bidang yang dekat dengan hati saya, dan merupakan pertalian yang sangat bagus antara Australia dan Indonesia.

Saya ingin belajar meniru perusahaan-perusahaan IT yang mana awal dari perusahaan mereka biasa berawal dari “garasi”. Saya ingin penelitian yang saya dilakukan di “Garasi” dengan proses yang tidak rumit (Garage Innovation) namun bisa menghasilkan produk yang mumpuni.

Tujuannya adalah agar hasil penemuannya mudah dikomersialisasikan.

Anda melanjutkan pendidikan S1 di Australia sampai kemudian Phd? Mengapa memutuskan kemudian bekerja di Australia?

Saya S1 dan S3 di Australia. Sewaktu S3 saya juga pernah mahasiswa pertukaran PhD di Warwick University di Inggris. Saya memutuskan untuk bekerja di Australia karena saya merasa UNSW adalah tempat yang cocok bagi saya ingin meningkatkan keterampilan saya sebagai innovator. Saya juga sangat cocok tinggal di Sydney.

Apakah setelah kerja di Australia, anda tetap menjalin hubungan dengan Indonesia, dari sisi personal maupun bagian dari kehiduapn akademis?

Dari kehidupan akademis saya bekerja sama dengan tim dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di bidang material chitosan untuk kegunaan di bidang pertanian. Saya juga bekerja sama dengan Mochtar Riady Institute (MRIN) di Jakarta mengembangkan senyawa untuk mengobati luka pada pasien diabetes.

Saya juga berhubungan erat baik pribadi maupun professional dengan Salim Agro untuk mengembangkan produk-produk pertanian (input) yang innovatf untuk meningkatkan hasil dari tanaman pangan dan mensejahterahkan petani di Indonesia. 

Saya juga sangat bersyukur bahwa UNSW memiliki fokus terhadap Indonesia. Akhir September lalu, UNSW baru saja menjalankan Indonesian Research Roadshow kedua ke ITB Bandung, Unpad Bandung, dan MRIN dan Universitas Pelita Harapan Jakarta untuk meningkatkan kerja sama penelitian di Indonesia.

Apakah satu saat kamu berpikiran untuk kembali ke Indoensia? Atau malah berpikir untuk pergi ke tempat lain misalnya Eropa atau Amerika serikat?

Saya sudah pernah tinggal di Jerman (Eropa) sebagai peneliti postdoctoral di Karlsruhe Institute of Technology (KIT), Jerman. Saya bangga sebagai orang Indonesia dan juga bangga sebagai orang yang tinggal di Australia sekarang.

Saya merasa Jakarta dan Sydney sekarang adalah rumah saya. Saat ini saya cukup sering melakukan perjalanan ke Indonesia dan harapan saya adalah bahwa hubungan Australia-Indonesia akan semakin erat.

Karena kita bertetangga dan keduanya adalah negara yang besar dan banyak sekali potensi kerja sama baik akademik, industri dan ekonomi. Ada pepatah bahasa Cina yang berbunyi “If the lips is gone, the teeth is cold” (Bila tidak ada bibir, maka gigi akan kedinginan). Ini artinya adalah bibir dan gigi adalah dua hal yang tidak terpisahkan dan membutuhkan satu sama lain. Saya merasa Australia-Indonesia seperti ini.

Apa yang anda lihat sebagai hal yang patut diperbaiki di Indonesia untuk bisa menarik warga Indonesia yang sekarang bekerja di luar negeri ?

Banyak orang mungkin bilang yang perlu diperbaiki adalah insentif keuangan. Tapi menurut saya ini bukan yang utama. Banyak orang yang terutama sudah berpendidikan tinggi merasa tidak dihargai atau tidak bisa berkarya secara maksimal di Indonesia.

Ada dua hal yang menjadi penghalang. Pertama, birokrasi. Terlalu sering peraturan di Indonesia sangat menjlimet dan berliku-liku dan dengan adanya banyak korupsi yang membuat orang susah bekerja dengan baik.

Presiden Jokowi pernah mengatakan hal itu. Yang kedua adalah kondisi sosial politik yang stabil.

Tapi di lain pihak, juga banyak hal yang menarik warga Indonesia untuk pulang. Bagaimanapun Indonesia adalah tanah air saya. Apa pun yang sudah saya capai tidak terlepas dari pelajaran dan pengalaman (baik ataupun buruk) selama saya tumbuh di Indonesia.

Terutama dengan adanya presiden Jokowi yang bagi saya dan saya yakin bagi banyak orang adalah inspirasi untuk kerja dan kerja dan terus bekerja untuk kebaikan kita semua.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/alexander-soeriyadi-finalis-eureka-prize/9076576
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement