Senin 23 Oct 2017 19:34 WIB

Terungkap di Persidangan, Proyek KTP-El Punya Risiko Politik

Dirut Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) periode 2009-2013 Isnu Edhi Wijaya (kanan) memasuki ruang sidang dalam sidang lanjutan kasus korupsi KTP elektronik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/10).
Foto: ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Dirut Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) periode 2009-2013 Isnu Edhi Wijaya (kanan) memasuki ruang sidang dalam sidang lanjutan kasus korupsi KTP elektronik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/10) mengungkapkan ada risiko politik dalam proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el). Risiko politik itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus KTP-el dengan terdakwa, Andi Agustinus atau Andi Narogong yang didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan Rp 1 miliar dalam perkara ini.

"Kami menyita surat tertanggal 5 Oktober 2012 dari kantor PNRI. Di sini saudara menyebutkan ada 10 risiko terkait proyek KTP-el, ada risiko politik, pemerintah, kemudian partai politik di DPR. Apa yang harus untuk memastikan dan untuk mendapatkan informasi anggaran proyek. Ini saudara tanda tangani, bagaimana?" tanya JPU KPK Abdul Basir.

Pertanyaan jaksa itu ditujukan kepada direktur utama Perum Percetakan Negara RI periode 2009-2013, Isnu Edhi Wijaya, yang menjadi saksi untuk Andi. Isnu pu menjawab, "Saya tidak ingat. Itu surat dikirim ke mana ya?"

"Ini dikirim ke dewan pengawas Perum PNRI. Di surat Ini saudara tulis sendiri bahwa perlu komunikasi intensif dengan DPR. Ini risk profile, potensi-potensi risiko dalam KTP-el. Ini saudara tanda tangani," tambah jaksa Basir.

Jaksa lalu membawa bukti surat itu ke hakim untuk juga diperlihatkan ke Isnu. "Di sini ada tulisan 5 persen untuk SN, ini tulisan bapak?" tanya jaksa Basir.

"Bukan," jawab Isnu.

"Lalu siapa yang membuat analisa risiko ini?" tanya jaksa Basir.

"Yang membuat adalah konsultan dari Sucifondo, dari hasil risk inilah kemudian dilaporkan ke dewan pengawas kami. Ini pernah dipresentasikan ke seluruh anggota konsorsium. Dia (Sucofindo) membuat sesuai kemampuannya, barang kali sampai ke politik dan sebagainya," jawab Isnu.

"Nama konsultannya siapa Pak?" tanya jaksa Basir.

"Saya lupa Pak. Untuk nama konsultan kita namanya Totalindo. Tapi apakah itu dibuat oleh Totalindo atau bukan, saya tidak tahu. Tapi ini pernah dipresentasikan di kantor PNRI. Setelah saya membaca analisis konsultan itu kemudian saya tanda tangani dan kirim ke dewan pengawas," jawab Isnu.

"Komunikasi yang bagaimana yang dimaksud dengan DPR?" tanya jaksa Basir.

"Saya tidak pernah berkomunikasi dengan DPR," jawab Isnu.

"Saya ulangi pertanyaannya, apakah konsorsium Perum PNRI dan PNRI sebagai lead, kemudian dari risiko-risiko tadi saudara mengambil kesimpulan agar berkomunikasi dengan DPR?" tanya jaksa Basir.

"Tidak pernah, saya tidak paham pembahasan anggaran," jawab Isnu.

"Ini kan ada di poin 3 BAP, kalau anggaran tidak disetujui maka perlu dikomunikasi dengan DPR. Maksudnya bagaimana?" tanya jaksa Basir.

"Terus terang kami tidak punya pengalaman ke sana sehingga saya pun tidak kebayang bagaimana melakukannya, (risiko) itu hanya dipaparkan saja, tidak disampaikan bagaimana caranya," ungkap Isnu.

Manajemen bersama konsorsium PNRI dalam dakwaan KTP-el disebut mendapatkan keuntungan sejumlah Rp 137,989 miliar. PNRI juga disebut sebagai salah satu dari tiga konsorsium yang terkafiliasi dengan Andi yaitu PNRI, Astagraphia dan Murakabi Sejahtera dimenangkan dalam tender KTP-el.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement