REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus pemberian keterangan palsu terkait kasus korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el), Miryam S Haryani, kecewa dengan tuntutan yang diajukan jaksa kepadanya. Dalam persidangan hari ini, jaksa KPK menuntut Miryam dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan. "Saya kecewa. Fakta persidangan pencabut BAP itu kan tidak pidana. Alasan saya kuat mencabut BAP," ujar Miryam usai pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/10).
Miryam mengaku sudah memendam kekecewaan sejak awal ditetapkan menjadi tersangka kasus ini. Menurutnya, apa yang ia ungkapkan dalam fakta persidangan adalah murni yang ia rasakan.
"Apakah saya tidak boleh mengungkap sesuatu yang dilakukan oknum KPK. Apa tidak boleh saya ungkap sedikit di publik di pengadilan. Terus akhirnya saya dijadikan tersangka dan terdakwa. Hello... nanti kalau ada orang yang merasakan hal yang sama, ya tidak akan berani ungkap itu semua. Itu saja yang bikin galau," tutur Miryam.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menilai Miryam terbukti melakukan tindak pidana sesuai yang didakwakan. Miryam dijerat Pasal 22 juncto Pasal 35 UUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan memberikan keterangan tidak benar di persidangan. Adanya kesengajaan dan kehendak pelaku untuk memberikan keterangan tidak benar. Jaksa menuntut delapan tahun penjara dikurangi masa tahanan yang dijalani terdakwa dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan," ujar JPU KPK Kresno Anto Wibowo saat membacakan tuntutan di ruang persidangan Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/10).