REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dea Alvi Soraya
Verawati tak menduga Kavling Kampung Bendungan, Tambun Utara, akan menjadi tempat pertemuan terakhir dirinya dengan putra ketiganya, AKH. Kunjungan Vera dan keluarganya, saat itu, untuk melihat sebidang tanah yang ditawarkan salah satu rekannya.
Tak ada firasat negatif saat Vera berangkat dari kediamannya di Alamanda Regency, Tambun Utara. Saat itu, tepatnya pada 13 Mei 2017, Vera dan keluarganya tiba di kediaman Tika di Kavling Kampung Bendungan, disusul oleh Pranianggo selaku penjual tanah.
Namun, saat tengah meninjau lahan, Gono dan istrinya mengajak AKH dan SAP, anak Tika, untuk lebih dulu kembali ke rumah dengan alasan cuaca yang tak mendukung. Saat tiba kembali di kediaman Tika, S dan AKH yang sejatinya adalah teman sepermainan segera mencari ide untuk menghabiskan waktu sambil menunggu orang tua mereka kembali.
SAP yang usianya lebih tua lebih banyak mendominasi dan menentukan permainan yang akan dilakukannya bersama AKH yang saat itu masih berusia tiga tahun. Petaka datang ketika sebuah senapan angin milik suami Tika menjadi objek permainan kedua bocah tanggung itu.
Senapan yang biasa digunakan untuk memburu burung itu tersandar di dekat speaker yang berada di ruang keluarga. SAP yang terbiasa melihat ayahnya bereaksi tersebut seolah telah piawai dalam memainkan senapan berbobot sekitar empat kilogram itu. SAP dengan sigap mengambil senapan dan mengajak AKH bermain.
Nahasnya, ternyata senapan tersebut dalam keadaan siap menembak, mengingat pengguna senapan angin harus memompa sekitar empat hingga enam kali untuk membuat senjata siap meluncurkan peluru. Bukan suara canda dan tawa yang terdengar dari kedua bocah itu, tapi suara tembakan.
Nur yang saat itu berada tak jauh dari kedua bocah sontak bertanya apa yang terjadi. Dalam rekonstruksi adegan yang dilakukan pada Kamis (26/10), digambarkan bahwa setelah suara tembahan tersebut terdengar, posisi SAP sedang memegang senapan yang mengarah ke AKH.
Beberapa saat setelah suara tembakan terdengar, Vera beserta rombongan kembali ke rumah dan menanyakan apa yang terjadi, mengingat saat itu wajah kedua bocah telah pias, khususnya AKH. “AKH pucat, lalu muntah-muntah, akhirnya saya bawa ke klinik. Tapi, pihak klinik menolak menangani anak saya dan menyarankan dibawa ke rumah sakit. Tapi, saat dalam perjalanan, AKH meninggal,” kata Vera di tempat kejadian perkara, Kavling Kampung Bendungan, Kamis (26/10).
Saat itu, Vera masih belum mengetahui kematian anak ketiga dari empat bersaudara itu akibat tertembak senapan. Tetasan air mata meluncur bebas dari kelopak mata Vera saat kembali mengenang peristiwa yang menewaskan putranya enam bulan lalu itu.
Menurut dia, saat peristiwa nahas itu terjadi, tak ada yang mengatakan kepadanya bahwa AKH tertembak senapan angin. Sebaliknya, Nur mengatakan bahwa AKH terlalu kaget saat mendengar suara tembakan, sehingga putranya pucat dan cenderung lebih diam. “Saat AKH muntah-muntah, mereka (Nur dan Tika) mengatakan bahwa AKH kemungkinan masuk angin, makanya saya segera bawa ke klinik,” kata dia.
Vera baru mengetahui anaknya terkena tembakan dari pihak klinik. Karena alasan itu pula, klinik menolak menangani AKH dan segera menyarankan Vera untuk membawa AKH ke rumah sakit. Ironisnya, sebelum tim RSIA Aisyah Qurrotta'ain mencoba melakukan penanganan, AKH telah tiada.
Keesokan harinya, Ahad (14/5), jenazah bocah gembil itu dimandikan dan dikafani setelah tim rumah sakit berhasil mengeluarkan proyektil peluru senapan angin yang menyarang di dada sebelah kanan korban. Jenazah dimakamkan di pemakaman umum yang terletak di Kampung Cerewet yang jaraknya tak jauh dari kediaman korban di Perumahan Alamanda Regency, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.
Vera mengaku telah menemukan banyak keganjilan dari kematian anaknya mengingat banyaknya kronologi kejadian yang berbeda-beda satu sama lain, bahkan berbenturan. Akhirnya, Vera mengajukan laporan ke Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bekasi dan disambut baik.
Namun, saat KPAD Kabupaten Bekasi membawa kasus ini ke Polsek Tambun, kepolisian mengatakan, kasus tersebut adalah tindak pidana ringan (Tipiring) dan tidak memerlukan penindaklanjutan serius. Kandaslah harapan Vera untuk mendapatkan keadilan, bersamaan dengan mundurnya KPAD dalam mendukung penuntasan kasus yang menewaskan AKH.
Tak mau menyerah, Vera meminta bantuan kuasa hukum untuk mencari keadilan. Rury Arief Rianto, kuasa hukum Vera, akhirnya berinisiatif membawa kasus ini ke Komisi Perlindungan Anak Kota Bekasi yang kemudian didukung oleh Polres Metro Bekasi Kota.
Tepat dua pekan setelah AKH dikebumikan, kepolisian mengautopsi jenazah dan disimpulkan kematian AKH karena luka tembak. Tapi, polisi masih mendalami kasus hingga dilakukannya rekonstruksi pada Kamis (26/10), kemarin. Konstruksi itu tidak dilakukan langsung oleh SAP yang saat ini diduga sebagai pelaku. SAP yang masih berusia enam tahun menolak dan menangis.
"Nggak mau. Ampun bunda... sudah," terdengar suara tangisan dari balik pintu rumah SAP.
Hingga kini, tak ada yang tahu apa maksud dari tangisan SAP dan tak ada yang tahu pula bagaimana sebenarnya kejadian itu bisa terjadi mengingat tak ada satu pun orang dewasa yang menyaksikan secara detail. Menurut salah satu penyelidik yang memimpin rekonstruksi, kepolisian telah mengambil sedikit gambaran kejadian, tapi tak banyak yang dapat disimpulkan.
Dia juga mengatakan, kepolisian akan melakukan reka ulang susulan untuk mendapatkan kesimpulan dari kasus yang selama hampir enam bulan ini tidak menemukan titik terang. "Saya belum bisa menyimpulkan karena masih terdapat ketidaksesuaian data," kata dia. (Editor: Ilham Tirta).