Senin 30 Oct 2017 03:16 WIB

Hindari Bulog, Petani Tebu Jual Langsung Gula ke Pedagang

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Budi Raharjo
Petani menaikkan tebu ke atas truk saat panen di kawasan Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (26/9). Petani tebu mengeluhkan rendahnya harga acuan gula petani atau harga pembelian pemerintah (HPP) pabrik gula sebesar Rp9.700 per kg yang dinilai masih di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) sebesar Rp10.600 per kg.
Foto: Umarul Faruq/Antara
Petani menaikkan tebu ke atas truk saat panen di kawasan Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (26/9). Petani tebu mengeluhkan rendahnya harga acuan gula petani atau harga pembelian pemerintah (HPP) pabrik gula sebesar Rp9.700 per kg yang dinilai masih di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) sebesar Rp10.600 per kg.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah petani yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) enggan menjual gula mereka ke Bulog lantaran harga yang ditawarkan terlalu rendah. Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan, sesuai dengan penugasan pemerintah, Bulog diminta menyerap gula petani seharga Rp 9.700 per kilogram.

Namun, harga itu belum dikurangi pajak penghasilan (PPh) sebesar 1,5 persen bagi yang telah memiliki NPWP dan tiga persen bagi yang belum memiliki NPWP. Menurut Soemitro, kebanyakan petani saat ini belum memiliki NPWP. Sehingga, jika dikurangi pajak sebesar tiga persen, gula mereka hanya dihargai Rp 9.409 per kilogram.

Petani menganggap harga tersebut terlalu murah dibanding dengan biaya produksi mereka. Karena tak mau menjual gula ke Bulog, sebagian petani akhirnya menjual langsung gula mereka ke pedagang. "Ada pedagang yang berani beli lebih mahal," ujar Soemitro, saat dihubungi Republika, Ahad (29/10).

Menurutnya, pedagang mampu membeli langsung gula dari petani seharga Rp 9.900-10.000 per kilogram. Petani lebih memilih cara ini karena memang tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjual gulanya ke Bulog.

Namun begitu, menurut Soemitro, pedagang yang membeli gula dari petani menjual kembali gula tersebut ke toko-toko secara sembunyi-sembunyi. Sebab, mereka masih menjual gula dalam kemasan karung 50 kilogram. Sementara, ada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang menyatakan penjualan gula curah kini hanya boleh dilakukan oleh Bulog dan mitra kerja samanya.

Sebelumnya, sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Gula Indonesia (APGI) mengeluhkan sepinya pasar gula. Ketua Umum APGI Pieko Njotosetiadi menuturkan, permintaan akan gula menurun karena banyak petani tebu yang menjual langsung gula mereka ke toko-toko.

Menurut Pieko, petani bisa menjual gula ke toko dengan harga murah, sekitar Rp 9.800 per kilogram. Sementara, APGI menjual gula ke pasar modern dengan harga Rp 11.800 per kilogram. "Kami mendapat harga modalnya saja sudah Rp 11.000 dari Bulog. Kemudian kami jual ke pasar modern Rp 11.800 untuk kemasan satu kilogram," tutur Pieko.

Sepinya pasar gula ini membuat pengusaha khawatir. Sebab, pengusaha memiliki perjanjian kerja sama dengan Bulog untuk membantu perusahaan plat merah tersebut menjual gula yang diserap dari petani. Dalam perjanjian kerja sama yang ditanda tangani pada awal Oktober lalu itu, APGI dan sejumlah mitra Bulog yang lain berkomitmen untuk menyelesaikan pendistribusian gula sampai 31 Desember 2017.

Khawatir tak bisa memenuhi komitmen kerja sama, pengusaha lalu meminta perpanjangan masa waktu ke Kementerian Perdagangan. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan, merespons permintaan pedagang, pihaknya akhirnya memutuskan untuk memperpanjang waktu pendistribusian gula sampai 31 Maret 2018.

"Karena di ketentuan awal kalau gula tidak habis sampai 31 Desember, pedagang akan kena sanksi. Nah kekhawatiran itu yang membuat mereka minta diperpanjang," tutur Tjahya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement