Jumat 03 Nov 2017 01:13 WIB

Sritex Masih Fokus Pasar Ekspor

Rep: Nur Hasan Murtiaji/ Red: Elba Damhuri
Pabrik tekstil di Indonesia (Ilustrasi)
Foto: KBRI Roma
Pabrik tekstil di Indonesia (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Sri Rezeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang bermarkas di Sukoharjo, Jawa Tengah, memfokuskan penjualannya masih untuk pasar ekspor. Perusahaan yang menjadi pemasok seragam militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ini telah menyuplai seragam kepada 35 negara.

"Penjualan kita 53 persennya untuk pasar ekspor. Bahkan, terkadang bisa sampai 60 persen ketika permintaan dari luar negeri lagi tinggi-tingginya," kata Presiden Direktur PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto saat ditemui di Jakarta, Rabu (1/11) malam.

Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Dia menjadi penyuplai seragam militer untuk 35 negara sejak 1993. "Kali pertama yang pesan kepada kami adalah militer Jerman. Seragam militer Malaysia, kami juga yang membuat," kata Iwan.

Bukan tanpa saingan, produsen sejenis juga banyak, tapi menurut Iwan, Sritex memiliki keunggulan dibandingkan perusahaan sejenis. Di antara faktornya adalah kualitas produk yang dibuat dengan teknologi tinggi. Faktor lainnya adalah biaya tenaga kerja yang relatif lebih murah.

Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan, ada 2.930 perusahaan tekstil yang tersebar di Indonesia sejak 2014. Berdasarkan laporan Kementerian Perdagangan, sekitar 2.600 perusahaan tekstil di antaranya masih menggunakan mesin yang berusia lebih dari 20 tahun. "Perusahaan yang menggunakan mesin terbaru tentu memiliki keunggulan kompetitif dan Sritex merupakan salah satu perusahaan tersebut," kata Iwan.

Selain seragam militer, Sritex juga memproduksi seragam perusahaan dan fashion. Sejumlah perusahaan besar menggunakan produk seragam Sritex, seperti Blue Bird Group, Djarum, PT Pos Indonesia, dan DHL. Adapun penetrasi ke pasar fashion internasional ditembus Sritex melalui produk H&M, Disney, dan Walmart.

Menurut Iwan, Indonesia harus mandiri dalam hal industri bahan mentah, seperti industri baja dan bahan kimia. "Industri yang terkait dengan bahan mentah harus kuat. Kalau nggak kuat, bagaimana mau berkompetisi dengan negara lain?"

Iwan yang menjadi pimpinan puncak perusahaan saat masih berusia 28 tahun itu --kini berusia 42 tahun-- mencontohkan bagaimana sokongan dari Pemerintah Cina terhadap industri tekstil di negaranya. Saking perhatian pada industri tekstil, ada kementerian khusus yang menangani pertekstilan.

Pada kuartal III 2017, penjualan kotor SRIL --kode bursa PT Sritex-- naik 15 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 498,6 juta dolar AS menjadi 572,6 juta dolar.

Perusahaan juga mencatatkan peningkatan kinerja laba bersih, laba operasional, keuntungan bersih hingga kuartal III 2017, jika dibandingkan periode yang sama 2016. Pemicunya adalah perbaikan efisiensi produksi perusahaan yang berkontribusi pada peningkatan margin produk.

Iwan menyebut eberapa strategi perusahaan yang dilakukan, seperti normalisasi kapasitas produk baru, efisiensi operasional dan produksi, serta inovasi produk bernilai tambah. Penjualan perusahaan untuk produk benang, kain, dan garmen meningkat masing-masing 9 persen, 26 persen, dan 20 persen hingga kuartal III 2017.

Pada Senin (6/11), Sritex akan menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS) di kantor pusat di Solo. Salah satu agendanya adalah penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (non-HMETD) atau private placement. Harga pelaksanaan non-HMETD sebesar Rp 354 per saham.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement