REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Arwani Thomafi menilai mekanisme sistem informasi partai politik (Sipol) yang diterapkan pada pemilu 2019 mengejutkan partai-partai politik, termasuk partai politik yang mapan.
"Pimpinan partai-partai politik semula membayangkan tidak akan serumit ini, hanya mendaftar ulang," kata Arwani Thomafi pada diskusi "Verifikasi dan Gugatan Partai Politik Menuju Masa Depan Demokrasi" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (2/11).
Menurut Arwani, dalam UU Pemilu mengatur, partai politik peserta pemilu, salah satunya adalah partai politik yang pernah melakukan verifikasi faktual. Namun, ketika KPU membuat aturan Sipol, banyak petinggi partai politik yang merasa keberatan.
Arwani menegaskan, jika melihat aturan Sipol ini dari pendekatan keinginan penyelenggara pemilu untuk meningkatkan kualitas pemilu, tentu harus dihormati.
"Peningkatan kualitas yang diinginkan penyelenggara pemilu, yakni kualitas prosedural dan administratif dalam penyelenggaraan pemilu," katanya.
Menurut Arwani, pemilu 2019 adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden yang diselenggarakan serentak, sehingga penyelenggara pemilu mengantisipasi tantangan yang lebih berat tersebut.
Agar penyelenggaraan pemilu berjalan lebih tertib dan berkualitas, kata dia, dimulai dari penertiban persyaratan dan prosedur teknis. Namun, hal-hal teknis tersebut, menurut Arwani, jangan sampai menghambat kepentingan yang lebih substantif dari penyelenggara pemilu itu sendiri.
"Ini yang harus menjadi catatan penyelenggara pemilu, bahwa ada hal-hal yang perlu dipahami, tidak hanya melulu persoalan prosedur," katanya.
Menurut Arwani, jika bicara demokrasi konstitusional, maka harus merujuk pada landasan hukum yang berlaku, kecuali hidup sendiri di hutan yang tanpa aturan hukum.
Aturan Sipol, kata dia, harus dihargai sebagai keinginan untuk bagaimana membangun demokrasi konstitusional sebagai rujukan dalam penegakan demokrasi.