Selasa 07 Nov 2017 19:44 WIB

Muhammadiyah Dukung Putusan MK Terkait Kolom Agama di KTP-El

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Bayu Hermawan
Polemik Kolom Agama EKTP
Polemik Kolom Agama EKTP

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk) terkait kolom agama di KTP. Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai keputusan MK tersebut sangat strategis untuk penganut kepercayaan atau kepercayaan lokal.

"Keputusan itu sangat strategis dan akan memberikan dampak luas terhadap langkah-langkah untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi penghayat kepercayaan di Indonesia," ujar Abdul Mu'ti kepada Republika.co.id, Selasa (7/11).

Mu'ti mengatakan, penghayat kepercayaan tercatat di Kemendikbud, hal ini bukan termasuk aliran seperti Ahmadiyah. Menurutnya selama ini Penghayat Kepercayaan banyak kehilangan hak sipil, terutama terkait dengan hak beragama.

Mu'ti menambahkan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terkait penghayat kepercayaan ini. Pertama, pendataan mengenai penganut Penghayat Kepercayaan.

"Tidak perlu ada pembatasan Penghayat yang diakui atau tidak diakui," ucapnya.

Kedua, perubahan kebijakan yang terkait dengan pelayanan publik terkait administrasi kependudukan, perkawinan, pendidikan agama, dan sebagainya.

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata 'agama' yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk 'kepercayaan'.

"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Hakim MK Arief Hidayat ketika membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).

Arief melanjutkan, majelis hakim menyatakan kata 'agama' dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Majelis hakim juga menyatakan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement