REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk) terkait kolom agama di KTP. Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai keputusan MK tersebut sangat strategis untuk penganut kepercayaan atau kepercayaan lokal.
"Keputusan itu sangat strategis dan akan memberikan dampak luas terhadap langkah-langkah untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi penghayat kepercayaan di Indonesia," ujar Abdul Mu'ti kepada Republika.co.id, Selasa (7/11).
Mu'ti mengatakan, penghayat kepercayaan tercatat di Kemendikbud, hal ini bukan termasuk aliran seperti Ahmadiyah. Menurutnya selama ini Penghayat Kepercayaan banyak kehilangan hak sipil, terutama terkait dengan hak beragama.
Mu'ti menambahkan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terkait penghayat kepercayaan ini. Pertama, pendataan mengenai penganut Penghayat Kepercayaan.
"Tidak perlu ada pembatasan Penghayat yang diakui atau tidak diakui," ucapnya.
Kedua, perubahan kebijakan yang terkait dengan pelayanan publik terkait administrasi kependudukan, perkawinan, pendidikan agama, dan sebagainya.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata 'agama' yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk 'kepercayaan'.
"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Hakim MK Arief Hidayat ketika membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).
Arief melanjutkan, majelis hakim menyatakan kata 'agama' dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Majelis hakim juga menyatakan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.