REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua MPR RI Zulkifli Hasan meminta semua pihak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam putusannya, MK mengakomodasi penganut aliran kepercayaan untuk memasukkan kepercayaannya ke kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga. Zulkifli berharap putusan tersebut tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
"Mudahan-mudahan enggak bikin gaduh karena sudah banyak kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu," ujar Zulkifli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (8/11).
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu enggan mengomentari lebih jauh dampak dari putusan tersebut. Ia hanya menekankan agar semua pihak menghormati keputusan tersebut dan melaksanakannya. "Keputusan MK kan harus kita hormati," ujar Zulkifli.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di MPR Arwani Thomafi menilai perlu ada kajian mengenai putusan MK tersebut. Itu perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kegaduhan dan problem lainnya. "Juga problem yuridis dan tantangan dari kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan putusan tersebut," kata Arwani.
Ia menilai putusan MK berpotensi mendistorsi definisi agama serta semangat konstitusi negara Indonesia sebagai negara berketuhanan. Selain itu, putusan MK juga dapat mengaburkan prinsip negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945.
Arwani meminta pelaksanaan putusan MK segera ditindaklanjuti melalui revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Menurut dia, pemerintah dan DPR harus segera memasukkan revisi UU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional dengan kategori kumulatif terbuka agar dapat segera diputuskan.
Wakil Ketua Umum PPP ini menambahkan, perubahan dimaksudkan untuk mempertegas soal agama dan aliran kepercayaan adalah entitas yang berbeda dan memang dilindungi oleh konstitusi. Hal itu juga sejalan dengan sikap MUI yang menegaskan aliran kepercayaan bukanlah agama.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, pemerintah masih membahas tentang teknis penulisan kolom agama bagi penghayat kepercayaan. Pemerintah memastikan tampilan KTP-el tidak akan berubah. "Ada plus-minusnya (beberapa bentuk penulisan di kolom agama), masih dibahas," ujar Zudan.
Zudan menambahkan, saat ini Kemendagri, Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus berkoordinasi memastikan data aliran kepercayaan di Indonesia beserta jumlah penghayatnya. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kemendikbud pada 2017, ada 187 aliran kepercayaan di 13 provinsi di Indonesia.
Meski demikian, hanya ada 160 aliran kepercayaan yang masih aktif dan berada di 12 provinsi. Aliran kepercayaan paling banyak tercatat di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni masing-masing sebanyak 48 dan 43 aliran. Yang pasti, kata dia, tampilan di KTP-el tidak akan berubah menyusul diakuinya penulisan aliran kepercayaan pada kolom agama.
Di tempat berbeda, penghayat Sunda Wiwitan akan melakukan konsolidasi dengan penghayat kepercayaan lainnya. Mereka berencana untuk berkoordinasi dengan Kemendagri setelah berkonsolidasi. Penghayat Sunda Wiwitan Dewi Kanti Setianingsih mengatakan, koordinasi dengan Kemendagri dalam rangka menindaklanjuti putusan MK.
Selain itu, lanjut Dewi, mereka juga akan berkoordinasi dengan Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Pasalnya, selama ini mereka dianggap juga berjasa dalam memberikan pendampingan atas perjuangannya bersama para penghayat kepercayaan lainnya. Koordinasi ini dinilai perlu agar tidak ada lagi penyelewengan ataupun multi-interpretasi putusan MK oleh pemerintah.
Dewi memastikan, penghayat kepercayaan siap mengawal implementasi putusan MK tersebut, terutama di Kemendagri. Sebab, Kemendagri berurusan dengan hak administratif kependudukan yang selama ini diresahkan oleh para penghayat kepercayaan. Selama ini, dampak tidak dicantumkannya agama mereka di KTP membuat mereka harus menghadapi berbagai kendala.
Salah satu dampaknya, tutur Dewi, kekosongan kolom agama di KTP membuat mereka kesulitan mengurus pernikahan agar tercatat dan juga diakui oleh negara. “Bagaimana upaya-upaya pemulihan yang bisa dipulihkan oleh negara terhadap hak-hak konstitusi kami yang selama ini diabaikan? Ini menjadi penting bagi kami,” tutur dia.
(Mabruroh, Tulisan diolah oleh Agus Raharjo).