Senin 13 Nov 2017 16:57 WIB

7 Poin Isi Surat Setnov untuk KPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Setya Novanto
Foto: Republika/Yasin Habibi
Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengungkap, isi surat dari Ketua DPR RI Setya Novanto terkait ketidakhadirannya dalam pemanggilan sebagai saksi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP-el , Anang Sugiana Sudiharja.  "Pagi ini KPK menerima surat dari Setya Novanto dengan kop surat tertulis Drs. Setya Novanto, Ak., Ketua DPR-RI tertanggal 13 November 2017.  Surat lima lembar tersebut melampirkan satu lembar surat Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi NTT tertanggal 1 November 2017, perihal: Undangan HUT Golkar ke-53 Tingkat Provinsi NTT. Dengan total surat dan lampiran sebanyak enam lembar," terang Febri, Senin (13/11). 

Surat tersebut, lanjut Febri,  terdiri dari tujuh poin, yang pada pokoknya berisikan sebagai berikut:

1. Surat panggilan dari KPK telah diterima pada hari Rabu, 8 November 2017, untuk menghadap penyidik KPK sebagai saksi dalam penyidikan perkara TPK Pengadaan KTP Elektronik yang diduga dilakukan oleh Anang Sugiana Sudiharja. 

2. Dalam Surat Panggilan tersebut secara jelas dan tegas disebutkan memanggil Setya Novanto, pekerjaan: Ketua DPR-RI dengan alamat kantor Gedung DPR-RI dan rumah di Jl. Wijaya Kebayoran, Jakarta Selatan

3. Bahwa berdasarkan:

- Pasal 1 (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah Negara Hukum

- Pasal 20A huruf (3) UUD 1945: selain hak yang diatur dalam pasal2 lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan serta HAK IMUNITAS.

- Pasal 80 UU No. 17 Tahun 2014 HAK ANGGOTA DEWAN huruf (h) IMUNITAS

- UU No. 10 Tahun 2004 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 7

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-unsangan adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah

4. Berdasarkan ketentuan UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya Pasal 224 ayat (5) (Hak Imunitas DPR) dan Pasal 245 ayat (1). Berdasarkan Putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2017. Dimana dalam intinya harus ada persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan bertentangan dg UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "persetujuan tertulis dari Presiden".

Berdasarkan Putuaan MK tersebut, maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan terhadap anggota DPR yang bersangkutan.

5. Bahwa karena dalam surat panggilan KPK ternyata belum disertakan Surat Persetujuan dari Presiden RI sebagaimana ketentuan Putusan MK, maka dengan tidak mengurangi ketentuan hukum yang ada, pemanggilan diri kami dalam jabatan saya selaku Ketua DPR-RI dapat dipenuhi syarat persetujuan tertukis dari Presiden RI terlebih dahulu sebagaimana ketentuan hukum yg berlaku termasuk penyidik KPK.

6. Bahwa selain belum ada persetujuan tertulis dari Presiden RI ternyata pada tgl 13 November 2017 kami telah lebih dahulu menerima undangan HUT Golkar ke-53 Tingkat Provinsi NTT.

7. Berdasarkan alasan hukum di atas, maka surat panggilan sebagai saksi tidak dapat saya penuhi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement