REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan pendidikan berbasis zonasi yang akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2017-2018 dinilai masih perlu pengkajian lebih dalam. Sebab, zonasi tersebut dinilai akan membatasi cita-cita siswa yang harus puas masuk sekolah karena berdasarkan jarak, bukan kemampuan akademik siswa.
"Sistem zonasi ini malah semacam mengkotak-kotakkan ya, jadi siswa tidak bisa bersekolah di luar zonasinya. Meski kemampuan akademiknya memungkinkan bersekolah di sekolah luar zonasi," ungkap Rodiyah, salah satu guru Sejarah di SMA 53 Jakarta saat berbincang di Kompleks Kemendikbud, Jakarta Pusat pada Selasa (14/11).
Meski begitu, dia mengapresiasi terobosan pemerintah untuk menekan dan meniadakan istilah sekolah favorit dan tidak favorit di berbagai daerah di Indonesia. Namun dia menekankan, perluasan juga ada hal-hal yang dipikiran lebih dalam dan matang.
"Misal, apakah sekolah disetiap daerah itu memiliki sarana dan prasarana atau kemampuan tenaga pendidik yang juga berkualitas? Terlepas dari tugas guru untuk merubah murid dari tidak bisa menjadi bisa ya," jelas Rodiyah.
Karena itu, dia berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa mempertimbangkan berbagai pihak terkait sistem zonasi tersebut. Sehingga cita-cita menekan diskriminasi bisa terealisasikan.