REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Sanksi Uni Eropa (UE) terhadap Iran atas program misil balistik dan dugaan keterlibatan konflik Timur Tengah disebut akan menarik bagi AS.
Presiden AS Donald Trump sendiri bersikap lebih tegas terhadap Iran dan menyatakan program misil Iran harus dibatasi serta ingin menjatuhkan sanksi atas keterlibatan Iran dalam konflik Yaman dan Suriah. AS sendiri baru akan memutuskan sikap terhadap Iran pada Desember mendatang.
UE yang biasanya sejalan dengan AS, berbeda pandangan soal program nuklir Iran. Misalnya untuk sanksi atas Rusia dimana AS dan UE bersepakat menekan ekonomi Rusia atas beberapa persoalan termasuk krisis Ukraina.
Menurut UE, program nuklir Iran harus dipisahkan dari persoalan program misil balistik. Pekan lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron memberi sinyal sanksi baru dari UE untuk Iran.
''Langkah itu akan sangat menarik dan membantu AS atas nama UE,'' kata seorang pejabat AS saat ditanya apakah AS ingin UE menjatuhkan sanksi atas Iran seperti dikutip Reuters, awal pekan ini.
Misil yang dilontarkan dari Yaman ke Saudi pada 4 November lalu berhasil masuk ke Riyadh. Beruntung tak ada korban atas tembakan misil itu.
Saudi yang melawan kelompok Houti di Yaman yang didukung Iran sejak 2015. Saudi menuding ISIS memasok misil dan persenjataan kepada Houti. Konflik Saudi dan Iran sendiri disebut bermotif perebutan pengaruh di Timur Tengah.
Tehran sendiri jelas menolak ucapan Macron dan beralasan program misil mereka adalah bagian program pertahanan negara dan tidak masuk dalam kesepakatan yang telah mereka buat. Di sisi lain, UE sendiri belum final soal sanksi terhadap Iran.
''Kami belum mendiskusikan soal sanksi terhadap ini. Tidak hari ini, kemarin, dan ke depan,'' kata Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini.
Rudal balistik, kata Mogherini, tidak masuk dalam kesepakatan pembenahan nuklir Iran. Usulan sanksi terhadap Iran sendiri belum ada di mejanya dan ia melihat hal itu tidak akan ada.