REPUBLIKA.CO.ID, Umair bin Abi Waqqash ra adalah seorang sahabat yang masih anak-anak. Ia masuk Islam pada permulaan Islam. Ia dalah saudara kandung Saad bin Abi Waqqash ra. Selain itu Umair ra adalah hamba sahaya milikk Abu Laham. Meski masih anak-anak, Umair ra sangat ingin menyertai perang Khaibar.
Dikisahkan dari Buku yang berjudul “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a., bahwa Saad ra menceritakan ketika perang Badar, ia melihat pasukan yang siap diberangkatkan. Adikknya, Umair berlarian ke sana kemari bersembunyi agar tidak diketahui. Saad ra heran melihat tingkah Umair ra.
Maka Saad ra bertanya kepadanya, “Mengapa kamu mondar-mandir bersembunyi?” Jawab Umair ra, “Aku khawatir, jika aku diketahui Rasulullah SAW, maka beliau akan melarangku menyertai pasukan, karena aku masih kecil. Padahal, aku selalu berharap untuk menyertai perang ini. Mudah-mudahan aku dikaruniai mati syahid.”
Akhirnya ketika pasukan diperiksa oleh Nabi SAW dan apa yang dikhawatirkan oleh Umair ra pun terjadi. Nabi SAW menemukannya dan karena ia masih kanak-kanak, Beliau melarangnya. Karena sangat bersemangat untuk ikut berperang, ia tidak tahan sehingga menangis.
Bahkan majikannya telah memohon izin kepada Nabi SAW agar Umair dibolehkan ikut berperang. Melihat semangat dan tangisnya itu, Nabi SAW pun mengizinkannya dan menghadiahi kepadanya sebuah pedang yang ia gantungkan di lehernya. Karena pedang itu terlalu panjang dan tubuhnya pendek, maka pedangnya menyeret ke tanah.
Saad ra berkata, “Karena tubuh Umair kecil dan pedangnya panjang, maka aku ikat pedangnya di pinggangnya dengan tali kulit agar lebih tinggi.” (Al-Ishabah).
Dalam keadaan seperti itulah ia menyertai perang Khaibar. Dan karena ia masih anak-anak sekaligus hamba sahaya, maka tidak memperoleh ghanimah sepenuhnya. Namun, ia tetap memperolah bagian pemberian. (Abu Dawud).
Sebenarnya Umair ra sudah mengetahui bahwa ia tidak akan mendapatkan bagian penuh dari harta ghanimah, tetapi karena semangatnya, ia mengajukan permintaan melalui orang lain agar diterima ikut berperang. Hal itu karena tidak ada lagi yang dapat menyenangkan hatinya kecuali semangat dalam membela kebenaran. Akhirnya, ia dapat meyertai pertempuran itu dan cita-citanya yang kedua pun terkabul. Ia syahid dalam perang tersebut.