REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim menuturkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup diuntungkan dalam menghadapi sidang praperadilan atas penetapan tersangka Setya Novanto untuk kedua kalinya, 30 November mendatang.
Hifdzil menilai KPK sudah memiliki banyak bukti yang sah dan menunjukkan adanya keterlibatan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR itu. "KPK sudah punya banyak bukti, jadi enggak perlu terlalu dipersiapkan lebih lanjut, enggak perlu ribet, tinggal datang saja," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (26/11).
Putusan praperadilan atas penetapan tersangka Novanto yang pertama, 29 September lalu, mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan. Putusan ini membuat Novanto lolos dari jeratan tersangka KPK dalam perkara kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-el.
Dalam pertimbangan hakim saat itu, disebutkan bahwa KPK mentersangkakan Novanto dengan menggunakan bukti yang sudah dipakai untuk penyelidikan dan penyidikan tersangka lain, yakni Irman dan Sugiharto. Pertimbangan ini menjadi salah satu yang membuat hakim saat itu meloloskan Novanto.
Menurut Hifdzil, pertimbangan tersebut bukan berarti KPK tidak boleh menggunakan kembali alat bukti yang sudah digunakan untuk tersangka lain. Tapi, alat bukti yang sudah digunakan, lalu dipakai lagi untuk menjerat tersangka lain di kasus yang sama, itu harus didaftarkan kembali.
Karena itu, KPK, menurutnya, bisa menggunakan alat bukti yang sudah digunakan pada tersangka awal kasus KTP-el, Irman dan Sugiharto, untuk menjerat Setnov. Asalkan alat bukti tersebut telah didaftar ulang.
"Bukan tidak boleh digunakan lagi, tapi itu harus di-register kembali. Misalnya bukti yang saya pakai untuk si A itu harus diregister kembali untuk menjadi alat bukti si B. Alat buktinya tetap bisa digunakan tapi harus diregister lagi oleh KPK," katanya.
Hifdzil memandang saat itu KPK tidak bisa mendaftarkan ulang alat bukti untuk Setnov itu karena memang waktunya sempit. Sehingga, alat bukti untuk menjerat Irman dan Sugiharto, dipakai lagi untuk mentersangkakan Setnov tanpa melakukan register ulang.
"KPK saat itu, satu bukti yang sudah di-register untuk si A, dipakai juga untuk tersangka B dan tidak di-register kembali," ujarnya.