REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak ASEAN segera membahas secara spesifik mengenai penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya. Siaran pers Kontras, Sabtu (2/12), menyatakan pihaknya meminta ASEAN untuk membuat satu buah Pertemuan Istimewa untuk membahas secara spesifik penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya.
Hal tersebut, lanjutnya, termasuk mengenai pertolongan humaniter, akses keadilan dan kekuatan alternatif untuk meredam konflik yang terjadi di daerah tersebut selain kekuatan militer yang represif. Kemudian, pemerintah Indonesia dinilai harus mengambil inisiatif untuk menyusun beberapa rekomendasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi kepada etnis Rohingya, termasuk penanganan kelompok minoritas Rohingya yang menjadi "internally-displaced persons" atau terbengkalai di beberapa pos transit pengungsi di beberapa Negara anggota ASEAN dan Australia.
Ketiga, Kontras mendesak pemerintah Indonesia harus segera meminta Negara Myanmar untuk menarik pasukan keamanan di Rakhine yang pada akhirnya menimbulkan ancaman dan rasa takut lebih lanjut terhadap etnis tersebut. Menurut LSM tersebut, hal itu penting guna meminimalkan potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Rohingya.
Kontras mengeritik hasil KTT ASEAN ke-31 Filipina pada November 2017 menyesalkan pertemuan yang dihadiri oleh seluruh pemimpin pemimpin ASEAN dan beberapa pemimpin Negara lain tersebut tidak membahas secara menyeluruh mengenai peran dan resolusi ASEAN mengeni krisis Rohingya.
Pertemuan pemimpin negara-negara kawasan Asia Tenggara itu dinilai lebih mengedepankan isu yang berkenaan dengan code of conduct Laut Cina Selatan, terbukanya kerja sama ekonomi baru dengan Rusia, ancaman terorisme, tekanan ancaman nuklir dari Korea Utara, dan juga kunjungan pertama dari para pemimpin baru di Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kontras mengingatkan persoalan krisis Rohingya tidak hanya milik Myanmar, persoalan ini adalah potret buruk situasi HAM di ASEAN dan telah menjadi perhatian internasional.
Untuk itu, prinsip non-intervensi patutnya dikesampingkan dalam penyelesaian krisis ini. ASEAN harus menjadi pionir dalam penyelesaian krisis ini untuk membuktikan legitimasi ASEAN di tataran internasional dan bukan hanya menjadi ajang selebrasi pertemuan kerja sama semu semata di kawasan regional tersebut.