REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB kemungkinan akan melakukan sidang pada Jumat terkait keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kata sejumlah diplomat, Rabu. Penggelaran sidang itu merupakan permintaan delapan dari 15 anggota Dewan Keamanan. Prancis, Bolivia, Mesir, Italia, Senegal, Swedia, Inggris dan Uruguay meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk secara terbuka melakukan pemaparan di Dewan Keamanan, kata para diplomat.
Trump pada Rabu (7/12) tiba-tiba membalikkan kebijakan berpuluh-puluh tahun yang dianut Amerika Serikat dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan Trump memicu kemarahan Palestina serta menunjukkan ketidakpedulian presiden AS itu atas peringatan-peringatan bahwa pengakuannya itu bisa menimbulkan kerusuhan di Timur Tengah. Trump juga berencana memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Israel menganggap Yerusalem sebagai ibu kotanya yang abadi dan tak terbagi serta berharap agar semua kedutaan asing ditempatkan di sana. Pada saat yang sama, Palestina menginginkan wilayah timur kota itu dijadikan ibu kota negara Palestina di masa depan. Israel merebut wilayah itu dalam perang 1967 dan kemudian mencaploknya.
Sebuah resolusi yang disahkan Dewan Keamanan PBB pada Desember tahun lalu "menggarisbawahi bahwa (Dewan Keamanan) tidak akan mengakui perubahan apa pun terhadap garis-garis 4 Juni 1967, termasuk menyangkut Yerusalem, selain yang disepakati oleh pihak-pihak terkait melalui perundingan." Resolusi tersebut disetujui setelah 14 negara memberikan suara dukungan sementara Amerika Serikat, di bawah pemerintahan mantan Presiden Barack Obama, menyatakan abstain.
Setelah Trump mengeluarkan pernyataan pada Rabu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan kepada para wartawan, "Saya telah secara konsisten menyatakan menentang langkah-langkah sepihak yang akan membahayakan masa depan perdamaian Israel dan Palestina."
"Di tengah kekhawatiran yang mendalam saat ini, saya ingin memperjelas: Tidak ada alternatif terhadap penyelesaian dua-negara. Tidak ada Rencana B," tegas Guterres.
"Saya akan melakukan apa pun menurut kewenangan yang saya miliki untuk mendukung para pemimpin Israel dan Palestina kembali ke perundingan yang berarti."
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley memuji keputusan Trump itu sebagai langkah yang adil dan seharusnya dilakukan.