REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Persoalan pernikahan dini menjadi salah satu pekerjaan rumah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Persoalan ini kerap menjadikan NTB sebagai buah bibir lantaran tingginya angka pernikahan usia dini.
"Jika menyebut pernikahan usia dini, orang akan menyebut NTB, khususnya Lombok," ujar Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi di Mataram, NTB, Kamis (7/12).
TGB menyampaikan, Provinsi NTB kini selangkah lebih maju dalam advokasi pendewasaan usia perkawinan dengan adanya edaran tentang pendewasaan usia perkawinan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur NTB Nomor 180/1153/Kum Tahun 2014 bahwa usia perkawinan ideal bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun.
Pertimbangannya, pada usia ini si anak sudah memenuhi program pendidikan 12 tahun. Menurut TGB, pada usia 21 tahun, seseorang telah memiliki kesiapan psikologis dan juga pekerjaan sehingga jangan sampai pernikahan itu justru menambahkan jumlah keluarga miskin.
"Apa iya kita menganggap wajar anak kelas 1 SMA menikah. Menurut saya ini penyimpangan. Apakah itu masalahnya di orang tua, masyarakat, atau anak itu sendiri. Itu bukaan keadaan normal," kata TGB.
Pun dengan anak berusia 18 tahun yang masih duduk di kelas III SMA. Bagi TGB, kondisi ini bukan sebuah kewajaran menikah di usia 18 tahun.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB Hartina mengatakan, telah melakukan sosialisasi tentang kebijakan menikah minimal usia 21 tahun ke seluruh kabupaten hingga ke pelosok desa.
"Pada 2017 kami menyasar 20 desa yang masih kategori zona merah dalam pernikahan usia dini," ujar Hartina.
Hartina menjelaskan, penurunan tingkat pernikahan dini di NTB mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada 2013, persentase perempuan yang melakukan perkawinan pertama usia 10 tahun sampai 19 tahun sebesar 48,89 persen, dan sempat mengalami kenaikan menjadi 50,29 persen pada 2014, sebelum kembali turun cukup drastis pada 2015 dengan 34,90 persen.
Menilik capaian rata-rata usia kawin pertama perempuan usia 10 tahun ke atas, NTB sudah on the track. Dalam revisi RPJMD 2013-2018, pada 2013 ditargetkan usia kawin pertama perempuan di atas 10 tahun ialah 19,88 tahun dan capaiannya 19,88 tahun. Pada 2014 ditargetkan 20,09 tahun dan capaian 19,94 tahun. Pada 2015 target NTB ialah 20,25 tahun dan capaian 20,32 tahun, serta 2016 target NTB 20,50 tahun dan capaiannya 20,15 tahun.
Hartina juga mengapresiasi komitmen pemerintah kabupaten/kota se-NTB dalam menurunkan tingkat pernikahan usia dini. Menurut Hartina, keberhasilan pencegahan pernikahan usia dini akan sangat bergantung peran kepala daerah. Dalam setahun ini, DP3AP2KB Provinsi NTB melobi semua bupati/wali kota agar menjadikan pendewaan usia perkawinan sebagai prioritas mereka.
Pemerintah Kabupaten Bima misalnya, yang menelurkan kebijakan tidak menerbitkan akta nikah bagi pasangan yang menikah di bawah umur. Hal ini disosialisasikan ke desa-desa, sehingga para orang tua yang berninat menikahkan putra putri mereka di bawah umur berpikir ulang. Begitu juga calon pengantin, tentu tidak ingin bermasalah kemudian hari karena pernikahan mereka tidak tercatat.
"Di Kabupaten Bima sudah melakukan berbagai macam program, salah satunya dengan tidak menerbitkan akta nikah ketika ada pernikahan dibawah umur," kata Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri.
Pemkab Bima, lanjut Indah, juga meminta calon mempelai menunjukkan ijazah SMA ketika ingin mendaftarkan diri menikah. Hal ini juga menjadi upaya Pemkab Bima dalam menyukseskan program wajib belajar.
"Setidaknya para siswa yang masih aktif sekolah mengurungkan niat mereka untuk menikah. Menurut saya ini merupakan metode yang perlu kita terapkan untuk meminimalisir angka pernikahan di usia dini," lanjut Indah.
Di Kabupaten Lombok Utara, gagasan peraturan desa untuk pendewasaan usia perkawinan digalakan. Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar menyampaikan, desa dan dusun merupakan ujung tombak yang efektif untuk mencegah pernikahan usia dini. Melalui peraturan desa yang mengatur usia boleh menikah, lanjut Najmul, dijelaskan sejumlah konsekuensi apabila menikah di bawah umut tidak akan mendapat hak-hak kependudukan.
"Nanti setelah diinisiasi melalui peraturan desa, ke depan juga kami gagas peraturan daerah untuk pendewasaan usia perkawinan," kata Najmul.