Senin 18 Dec 2017 07:55 WIB

PBB akan Gelar Pemungutan Suara Terkait Yerusalem

Rep: Marniati/ Red: Gita Amanda
Gelombang penolakan langkah AS yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel meluas ke berbagai negara. Sabtu (16/12), sejumlah warga mengajukan protes atas pengakuan AS tersebut di Frankfurt, Jerman.
Foto: AP
Gelombang penolakan langkah AS yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel meluas ke berbagai negara. Sabtu (16/12), sejumlah warga mengajukan protes atas pengakuan AS tersebut di Frankfurt, Jerman.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dijadwalkan untuk memberikan suara pada Senin (18/12), mengenai sebuah rancangan resolusi yang menyerukan penarikan keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Draft rancangan Mesir yang terdiri dari satu halaman diedarkan ke-15 anggota dewan pada Sabtu (16/12) lalu. Draft tersebut tidak secara khusus menyebutkan Amerika Serikat atau Trump. Diplomat mengatakan pihaknya memiliki dukungan luas namun kemungkinan akan diveto oleh Washington.

Dilansir laman Reuters, untuk lolos resolusi membutuhkan sembilan suara yang mendukung dan tidak ada veto oleh Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia atau Cina.

Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel yang menimbulkan kemarahan dari orang-orang Palestina dan dunia. Trump juga berencana memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dari Tel Aviv.

Misi AS untuk PBB tidak segera menanggapi permintaan untuk mengomentari draft tersebut. Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley memuji keputusan Trump sebagai tindakan yang benar.

Setelah keputusan tersebut, Menteri Luar Negeri Arab sepakat untuk mencari resolusi Dewan Keamanan PBB. Meskipun draft tersebut tidak mungkin digunakan, namun akan sedikit menghambat Trump secara politik mengenai masalah Yerusalem. Draft PBB ini mengungkapkan penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.

Ini menegaskan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah, komposisi karakter, status atau demografis Kota Suci Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi yang relevan dari Dewan Keamanan PBB. Draft tersebut juga menyerukan kepada semua negara untuk menahan diri dari pembentukan misi diplomatik di Kota Suci Yerusalem, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan.

Israel menganggap kota itu sebagai ibu kota abadi dan tak terpisahkan dan menginginkan semua kedutaan besar berbasis di sana. "Tidak ada suara atau perdebatan akan mengubah kenyataan yang jelas bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel, ujar Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, dalam sebuah pernyataan pada Sabtu.

Sementara itu  warga Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa depan yang direbut Israel dalam perang 1967 dan dicaplok dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui secara internasional.

Rancangan resolusi dewan PBB menuntut agar semua negara mematuhi resolusi Dewan Keamanan mengenai Kota Suci Yerusalem, dan tidak mengakui tindakan yang bertentangan dengan resolusi tersebut. Sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang diadopsi pada Desember tahun lalu menggarisbawahi bahwa tidak akan mengakui adanya perubahan pada dialog 4 Juni 1967, termasuk mengenai Yerusalem, selain yang disetujui oleh para pihak melalui perundingan.

Resolusi tersebut disetujui dengan 14 suara yang mendukung dan satu suara abstain dari Barack Obama yang saat itu menjabat sebagai presiden AS.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement