REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi melihat pembatalan keputusan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terkait pemberhentian Pangkostrad Jenderal Edy Rahmayadi tentu saja memiliki konsekuensi.
"Panglima, hati-hati. Ini nyerempet politik loh," kata dia melalui siaran pers, Rabu (20/12).
Fahmi menilai dampak keputusan Panglima mengganti surat No. Kep/982/XII/2017 terkait pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI bukan hanya membuat Edy bisa gagal mengikuti kontestasi pilkada Sumatera Utara (Sumut) 2018.
"Cuma itu saja? Tentu tidak. Yang bersangkutan (Edy) diketahui sudah mengajukan permohonan pensiun dini sejak beberapa waktu lalu," katanya.
Sesuai aturan, kata dia, seorang perwira TNI harus berhenti dari dinas aktif ketika mendaftar sebagai bakal calon kepala daerah ke KPU. Edy adalah satu-satunya bakal calon Gubernur Sumut yang telah jelas partai pengusung dan wakilnya.
Artinya, Edy, menurut Fahmi, tentu saja sudah siap lahir batin untuk bertarung. Dan itu adalah hasil proses komunikasi politik yang tak sederhana. "Keputusan Panglima berpotensi memporak-porandakan hal itu. Imbas yang paling enteng bisa jadi adalah kekecewaan implisit di balik loyalitas seorang perwira," kata dia.
Imbas yang lebih berat adalah kegaduhan baru yang akan muncul. Apakah Gerindra, PAN dan Demokrat akan diam saja? Fahmi menyebut Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto harus bijak. "Kenapa tak berfikir, mungkin perwiranya yang satu ini lebih bermanfaat bagi rakyat Sumatera Utara? Lagipula Edy belum tentu menang. Masih panjang prosesnya. Bisa saja justru figur lain yang terpilih," tuturnya.
Edy Rahmayadi juga dinilainya bukan sosok yang luar biasa istimewa untuk digandoli di TNI. Stok pengganti yang mumpuni, bahkan yang lebih berkualitas banyak. Seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Edy juga tentu saja paham konsekuensinya. Ini disebutnya sebagai 'point of no return'.