REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO — Air sungai nil yang menjadi urat nadi kehidupan berbagai negara di kawasan Afrika Utara tampaknya akan menimbilkan persoalan baru. Tiga negara yang mengantungkan hidup pada sungai itu, yakni Mesir, Sudan, dan Ethopia kini tengah berebut mengenai cara pengaturan pasokan aliran sungai legendaris itu.
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry misalnya pekan depan mengunjungi ibu kota Ethopia, Addis Ababa, untuk melakukan pembicaraan dengan mitranya dari Ethiopia. Seperti dilansir Alarabiya.net dengan mengutip pernyataan seorang juru bicara kementerian luar negeri ini, kunjunga tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri kebuntuan mengenai proyek bendungan multi-miliar dolar di sungai Nil yang kini dibangun Ethopia.
Tak hanya antara Mesir dan Ethopia, perselisihan mengenai kelangsungan pasokan air di Sungai Nil juga melibatkan satu negara lainnya, yakni Sudan. Semua negara ini kini sibuk untuk mengatur bagaimana mengendailkan keberlangsungan perairan sungai Nil yang membentang 6.695 km, yakni bermula dari Danau Victoria hingga mengalir sampai ke Laut Tengah. Apalagi semenjak dahulu kala hingga hari ini sungai Nil merupakan sumber atauurat nadi kehidupan bagi rakyat yang tinggal di ketiga negara tersebut.
Kairo menegaskan adanya bendungan yang dibangun oleh Ethopia tersebut akan mengancam pasokan air yang telah memberi makan pertanian dan ekonomi Mesir selama ribuan tahun.
Ethiopia menolaknya. Bagi mereka adanya bendungan raksasa di sungai Nil yang diberi nama ‘Grand Renaissance Dam’, akan membuat negara itu sebagai negara pengekspor energi listrik terbesar Afrika. Selain itu Ethopia menyatakan bila bendungan ini tidak akan berpengaruh besar terhadap Mesir. Tak hanya itu mereka pun menuduh Kairo menggunakan ‘otot politiknya’ untuk mencegah pemodal agar yidak mendukung proyek Ethiopia tersebut.
Belakangan, pada November lalu, delegasi dari Mesir, Sudan dan Ethiopia telah bertemu di Kairo untuk menyelesaikan pasokan air sungai Nil yang melintasi negaranya. Saat itu merekapun telah sepakat untuk menunjuk sebuah perusahaan penelitian Prancis untuk menilai mengenai dampak lingkungan dan ekonomi akibat adanya bendungan itu.
Namun perundingan terhenti ketika mereka gagal menyepakati laporan awal dari penelitian itu. Masing-masing negara menyalahkan pihak lain karena dengan menuduh menghalangi kemajuan negoisasi.
Menteri Irigasi Sudan Moataz Moussa mengatakan bahwa Mesir tidak mau menerima amandemen terhadap laporan yang diajukan oleh Khartoum dan Addis Ababa.
“Sudan dan Ethiopia telah menyatakan keprihatinannya atas beberapa poin, terutama dasar yang diusulkan dari mana studi tersebut akan mengukur dampak bendungan tersebut,” kata Moussa pada bulan November lalu itu.
Sumber perselisihan lainnya adalah adanya rencana Ethiopia untuk menyelesaikan konstruksi bendungan sungai Nil sebelum negosiasi mengenai arus air diselesaikan.
"Sudah jelas mereka tidak ingin meraih kesimpulan perundingan dengan cepat. Kami yakin mereka mungkin ingin mulai mengisi bendungan dengan air sungai Nil dan menyelesaikan konstruksi sementara masih ada beberapa diskusi yang sedang berlangsung, " kata Mahmoud Abou Zeid, Ketua Dewan Air Arab dan mantan menteri irigasi Mesir.
Dia mengatakan pembangunan bendungan oleh Ethophia dengan cara seperti itu, maka akan melanggar sebuah kesepakatan yang ditandatangani oleh ketiga negara di Khartoum pada tahun 2015. Kala itu ketiga negara itu menandatangani perjanjian untuk memastikan kerjasama diplomatik untuk mencegah timbulnya kekhawatiran akan konflik sumber daya yang bersumber dari pasokan air sungai Nil.
Kairo selama ini memang khawatir bendungan berkapasitas 6.000 megawatt, yang dibangun oleh perusahaan konstruksi terbesar Italia, Salini Impregilo SpA di Ethopia, yang akan selesai pada tahun depan, akan mengurangi aliran sungai Nil yang menjadi tempat bergantung negara ini di dalam memenuhi pasokan air minum dan irigasi.
Bahkan, seorang pejabat Mesir telah mengatakan bila pengamanan kuota negara air sungai Nil sudah menjadi masalah keamanan nasional.
"Tidak ada yang bisa menyentuh air Mesir ... itu karena sudah berarti menyangkut hidup atau matinya untuk sebuah populasi umat manusia,” kata Presiden Abdel Fattah al-Sisi bulan lalu.