REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengevaluasi pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) selama tiga tahun memimpin negeri ini. Salah satu hal yang disoroti yakni soal perlindungan warga negara.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Maneger Nasution mengatakan selama 2017 ada beberapa peristiwa di mana negara tidak hadir menunaikan mandatnya melindungi warga negara di dalam maupun di luar negeri. Kasus terdekat adalah dideportasinya Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh otoritas bandara Hong Kong.
"Negara harus hadir, menyampaikan protes diplomatik secara keras kepada otoritas pemerintah Hongkong, karena nyata-nyata Hong Kong tidak memperlihatkan perilaku diplomasi berkeadaban sebagai sesama negara bersahabat, dan pemerintah harus mengusut tuntas adanya dugaan keterlibatan oknum dalam negeri terkait peristiwa deportasi terhadap UAS," kata Maneger dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Jakarta, Jumat (29/12).
Menurutnya, permasalahan tersebut diusut tuntas secara profesional, independen, dan transparan. Sebab, masyarakat berharap permasalahan Abdul Somad itu tidak benar. "Sekira jika dugaan itu benar adanya keterlibatan oknum dalam negeri dalam kasus tersebut, itu pengkhiatan bangsa," ungkapnya.
Di sisi lain, soal demokrasi. Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Dan, celakanya DPR mengesahkan RUU Perppu Ormas tersebut. Kini Perppu Ormas yang digagas rezim.
"Jokowi itu resmi menggantikan UU Nomor 17 tahun 2013. Pengesahan Perppu Ormas itu menjadi UU Ormas memantik pro-kontra," ucapnya.
"Bagi yang pro, meyakini UU Ormas itu adalah bentuk kehadiran negara mengatur hak-hak sipil warga negara. Sedangkan bagi yang kontra, menilai UU Ormas teranyar itu di samping cacat proses kelahiran, substansinya juga mengancam masa depan demokrasi dan HAM serta mengingkari Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat)," jelasnya.