REPUBLIKA.CO.ID, Demonstrasi di Iran terus berlanjut. Dalam beberapa hari ini, sejumlah laporan menyebut setidaknya 14 orang tewas. Meski belum terverifikasi sepenuhnya, namun aksi ini telah memicu perhatian dunia internasional.
Presiden AS Donald Trump memanfaatkan demonstrasi itu untuk menekan Teheran. Ia pun menilai sudah waktunya bagi Iran untuk berubah. Lantas siapa dan apa motif di balik demonstrasi tersebut?
Sejauh ini, isu yang dilontarkan lebih karena faktor ekonomi. Lemahnya daya beli, penggangguran dan isu korupsi digulirkan. Menurut Trita Parsi penulis 'Losing an Enemy: Obama, Iran and Triumph of Diplomacy,' ada yang berbeda demonstrasi pada kali ini dengan unjuk rasa besar pada 2009 lalu.
Para penggerak protes 2018 dari segmen yang jarang terlihat dalam peta perpolitikan Iran selama dua dekade terakhir. "Protes ini sepertinya berbeda dibanding 2009, dari sisi jumlah, kepemimpinan dan tujuan," ujarnya seperti dikutip CNN.
Dari sisi jumlah demonstrasi saat ini, terbilang lebih kecil dibanding 2009 lalu, hanya beberapa ribu orang saja. Unjuk rasa pun dimulai dari luar Teheran yakni di Mashad dan Qom serta sejumlah kota lainnya.
Sementara pada 2009, demonstrasi diawali oleh kekecewaan hasil pemilu. Dalam beberapa hari terakhir lebih dari satu juta demonstran turun ke jalanan di Kota Teheran.
Pada 2009, tujuan aksi sangat jelas. Mereka menuding ada kecurangan dalam pemilihan dan meminta agar dilakukan penghitungan ulang. Dari sisi kepemimpinan, mereka juga digerakan oleh tokoh seperti kandidat presiden Hossein Mousavi dan Mehdi Karraoubi.
Adapun aksi saat ini jauh lebih sporadis, tanpa ada kepemimpinan yang kuat. "Menurut saksi kepada saya, protes diinisiasi di Mashhad oleh pemimpin agama garis keras yang mencoba mengambil keuntungan dari melemahnya kondisi ekonomi untuk menekan presiden Rouhani," ujarnya.
Namun mereka telah kehilangan kontrol. Karena demonstrasi itu telah menyebar ke berbagai segmen. Slogan masalah korupsi dan buruknya standar hidup lebih terlihat daripada "Matilah Diktator!" dan "Turunkan pemerintahan Republik Islam".