REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang sejarah perkembangan ilmu kedokteran dalam peradaban manusia terdapat kode etik yang telah disepakati sekalipun secara tidak tertulis. Terdapat sifat mendasar yang melekat secara multak pada diri seorang dokter. Beberapa sifat ketuhanan sering diidentikkan pada pribadi dokter, seperti bijaksana, kemurnian niat, keluhuran budi, profesionalisme, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan.
Etika tersebut dari masa ke masa mengutamakan penderita yang berobat serta demi keselamatan dan kepentingan penderita. Etika ini sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu beneficence, non maleficence, autonomy, dan justice. Taruh saja, misalnya, sosok Inhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia.
Pada zaman keemasan Islam, berbagai etika tersebut dielaborasikan dan disempurnakan dengan ajaran dan prinsip-prinsip Islam. Adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya ar-Razi 313 H/925 M, pelopor kedokteran di dunia Islam selain Ibnu Sina, mengarang sebuah kitab yang berjudul Akhalaq At Thabib. Kitab asli yang berjudul Risalat li Abi Bakar Muhammad bin Zakariyya Ar Razi ila ba'dhi talamidzihi berisi tentang petuah bijak sang maestro terkait pola interaksi antara pasian dan dokter berikut prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak.
Dalam konteks buku ini, murid yang dimaksud dan sering dijadikan tujuan surat ialah Abu Bakar bin Qarib ar-Razi. Salah satu murid kesayangannya tersebut, kala itu, sedang menerima panggilan dari pemimpin Khurasan untuk memegang jabatan sebagai kepala kedokteran atas permintaan penguasa wilayah Persia saat itu. Sayangnya, ar-Razi sendiri-seperti kebiasaannya di setiap karyanya-tidak menyebutkan siapakah pemimpin yang dimaksud.