REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menilai soal mahar politik atau biaya politik bisa menjadi tindak pidana. Hal ini bila mahar politik diminta secara paksa sebagai syarat pencalonan, tapi ketika uang sudah dibayarkan yang bersangkutan justru gagal dicalonkan.
"Itu percobaan melakukan tindak pidana, apalagi sudah terlanjur membayar yang menerima itu bisa terancam pidana," kata Mahfud dalam acara Indonesia Lawyer Club, Selasa (16/1).
Dan ia yakin meskipun tidak disebut mahar politik secara gamblang, namun hampir semua calon kepala daerah telah menyiapkan uang merujuk sejumlah kursi dukungan yang ada di tingkat provinsi. "Saya kira rakyat sama sekali tidak percaya kalau orang yang menjadi calon kepala daerah tidak diminta uang, pada umumnya rakyat meyakini ada istilah mahar politik itu," ujarnya.
Namun sayangnya banyak mereka yang sudah dijebak dengan membayar mahar dan gagal dicalonkan memilih hanya diam. Kemudian malu mengakui dengan menampik, tidak ada permainan uang dalam proses pencalonan ini.
Oleh karena itu Mahfud termasuk yang setuju kalau pilkada dikembalikan kepada DPRD. "Kalau DPRD bukan tidak menutup kemungkinan ada permainan uang, tapi paling tidak tetap terkontrol karena bisa diawasi oleh masyarakat," ujar Mahfud.
Tapi kalau sekarang ini dengan pilkada langsung, menurutnya, biaya yang dikeluarkan sangat mahal. Dan justru mengajarkan kepada masyarakat untuk semakin rusak dengan permainan politik uang.
Pada pertengahan 2014, baik PBNU atau Muhammadiyah telah merekomendasikan agar pilkada dikembalikan kepada DPRD di masing-masing tingkatan. Untuk itu, ia berharap sudah saatnya semua phak berpikir meninjau ulang pemilihan langsung kepala daerah.
Ia mengungkapkan dahulu Bung karno juga pernah membatalkan UU nomor 1 tahun 57 tetang pemilihan langsung, sehingga dikembalikan ke DPRD atau ditentukan oleh pusat. "Kini, kekhawatiran itu terbukti seperti yang terjadi sekarang. Ketika rakyat dibiasakan secara liberal, jual beli politik uang," imbuhnya.