REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada pertengahan abad ke- 8, orang Arab maupun Cina telah melibatkan orang-orang Tibet dalam peperangan. Tibet mulai masuk ke dalam arena politik internasional di bawah raja pertama Tibet, Srong-btsan, atau lebih dikenal dengan Sgam-po yang meninggal pada tahun 649.
Sekitar tahun 670, orang-orang Tibet tertegun ketika Cina merebut wilayah-wilayah strategis penting di Cekungan Tarim yang telah mereka miliki selama lebih dari 20 tahun. Permusuhan berlanjut sampai paruh pertama abad ke-8 ketika Cina memenangkan serangkaian pertempuran dalam upaya untuk meredam pemberontakan Tibet yang membentuk kerajaan-kerajaan kecil di sisi belakang Tibet, yaitu Kashmir, Pamir, dan Pegunungan Hindu Kush.
Namun, krisis berkembang ketika penguasa pro-Tibet berkuasa di kerajaan Gilgit yang terletak di utara Pakistan kini. Cina akhirnya mengirim tentara ke arah barat pada tahun 747 di bawah komando Jendral Korea yang terkenal, Kao Hsien-chih. Tentara Cina dan Korea menyeberangi Pegunungan Pamir menuju Gilgit. Kao memenggal pejabat Gilgit yang pro-Tibet. Dengan demikian, permusuhan antara Gilgit dan Cina dimulai.
Tak hanya melibatkan orang-orang Tibet, pertempuran Talas juga diwarnai dengan pertempuran antara dua kerajaan kecil Ferghana dan Charch. Pada tahun 750, pertempuran antara Ferghana dan Chach menyebabkan Ferghana mencari bantuan militer Cina. Kao Hsien-chih yang menjadi gubernur Kucha membantu Ferghana dengan menyerang Chach dan memenggal sang raja.
Putra pe nguasa Chach melarikan diri dan meminta bantuan kepada Abu Muslim, gubernur Abbasiyah di Khurasan. Dinasti Abbasiyah yang ketika itu masih berkedudukan di Harran, Turki, sedang mengonsolidasikan wilayah kekuasaan yang direbutnya dari Umayyah, salah satu yang menjadi perhatian adalah Lembah Ferghana yang membentang dari Uzbekistan, Kirgistan, dan Tajikistan.
Mendapat kesempatan emas untuk mengurangi peran politik Cina di Asia Tengah, Abu Muslim mengerahkan pasukannya di Merv (Turkmenistan) dan Tukharistan (utara Afghanistan) menuju ke Samarkand. Di Uzbekistan, mereka bergabung dengan tentara Transoxania di bawah pimpinan Ziyad ibn Shalih, mantan gubernur Umayyah dari Kufah.
(Baca: Pertempuran Sungai Talas)