REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apalah arti sebuah nama? Kadang nama hanya memiliki sedikit arti, kadang juga bermakna segalanya. The White Mountains, misalnya, belum tentu seluruh wilayahnya berwarna putih. Pegunungan Rocky belum tentu juga berbatu. Dan, Laut Mati, meskipun tidak terlihat seperti mati, tidak diragukan lagi memang “mati”.
Laut Mati terletak di antara Yordania, Israel, dan Tepi Barat Palestina. Ia terbentuk akibat retakan di Lembah Sungai Yordania (Jordan Rift Valley). Danau yang terbentuk sekitar tiga juta tahun lalu ini juga dikenal dengan berbagai macam nama. Perjanjian Lama menyebutnya “Sea of the Plains”. Sedangkan, orang Arab menyebutnya “Laut Lot”. Laut mati mempunyai panjang 48 mil atau sekitar 77 kilometer dan lebar antara lima hingga 16 kilometer. Dalamnya sekitar 400 meter.
Di bagian selatan danau oval ini dipagari oleh lembah bercadas Wadi Arabah yang luar biasa indah di Yordania. Lembah Yordania yang subur terlihat di utara. Sedangkan, di bagian barat dan timur dibatasi pegunungan Moab dan Yudea yang megah. Pada zaman prasejarah, luasnya mungkin jauh lebih besar. Beberapa ahli percaya danau tersebut pernah memiliki luas antara 321 hingga 644 kilometer persegi. Airnya diperkirakan pernah mencapai tinggi 1.400 meter atau 100 meter lebih tinggi dari Laut Mediterania. Luasnya menyusut selama kemarau panjang yang diiikuti gempa luar biasa.
Pada 1947, terdapat penemuan arkeologi penting abad ke-20 di gua tersebut, yaitu Gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls). Ada beberapa versi cerita mengenai gulungan tersebut. Kisah yang paling sering diceritakan adalah gulungan itu ditemukan oleh seorang gembala suku Badui. Alkisah, seorang gembala bersama kawannya mencari kambingnya yang hilang hingga ke sebuah gua di atas tebing di barat laut Qumran. Di dalam gua, mereka menemukan beberapa guci dan gulungan. Mereka kemudian membawa gulungan tersebut ke Yerusalem. Seseorang di sana menyadari bahwa keduanya telah menemukan sesuatu yang berharga.
Penemuan mereka lantas memicu pencarian massal di sekitar wilayah Laut Mati. Hasilnya, ribuan fragmen dari gulungan yang sama berhasil ditemukan. Ada sebuah plakat tembaga yang digulung, tetapi sebagian besar gulungan yang ditemukan terbuat dari kulit dan papirus. Kenyataan bahwa gulungan-gulungan itu hanya dibiarkan tergeletak di tanah dan bisa diselamatkan adalah suatu keajaiban. Jika bukan karena keadaan di gua yang sangat kering, mustahil gulungan itu masih bisa bertahan.
Penemuan paling penting dari gulungan itu adalah adanya dua salinan Kitab Yesaya. Salah satunya berisi salinan lengkap. Kedua salinan itu diperkirakan berumur seribu tahun lebih tua dari manuskrip Injil asli yang selama ini diketahui. Juga ditemukan uraian Kitab Habakuk, salinan wahyu dari Lameh. Di situs lain ditemukan sejumlah teks yang tidak ada hubungannya dengan gulungan yang ditemukan di Qumran. Semua gulungan itu ditemukan pada 1951 di gua-gua Murabbat di Khirbet Mira. Khirbet Mira berada di utara Lembah Kidron dan 11 kilometer dari selatan Qumran.
Para ahli dengan cepat mencoba menguraikan isi gulungan. Mereka juga tidak menemui hambatan berarti dalam prosesnya. Beberapa gulungan ditulis dalam bahasa Yunani dan Aramaik. Tetapi, sebagian besar ditulis dalam bahasa Ibrani. Setelah kaligrafi dikuasai, akan mudah menerjemahkannya. Gulungan tersebut merupakan penemuan tidak ternilai dalam mengungkap teks-teks Alkitab, mempelajari latar belakang Kristen, dan mengetahui usia gulungan itu sendiri.
Meski ada beberapa kalangan yang tidak setuju, kebanyakan ahli mengatakan, beberapa gulungan setidaknya berasal dari paruh pertama abad pertama, yaitu saat Yesus masih hidup. Gulungan paling tua, setidaknya berasal dari awal abad kedua sebelum Yesus dilahirkan.
Para ahli kemudian memutuskan untuk menggali situs reruntuhan kuno di Qumran atau satu-satunya reruntuhan yang ada di dekat gua. Reruntuhan itu merupakan sisa benteng Romawi. Penggalian menunjukkan sebuah bangunan berskala besar dengan banyak kamar, kamar mandi, tangki air, tempat pembakaran batu bata, dan sebuah menara. Para arkeolog juga menemukan koin, lebih banyak fragmen dari gulungan, dan dua wadah tinta. Wadah tinta tersebut ditemukan di sebuah ruangan yang disebut dengan “scriptorium”. Diduga di ruangan inilah kitab atau gulungan ditulis dan disalin.
Dari berbagai temuan itu dan isi dalam gulungan, para arkeolog akhirnya menyimpulkan gulungan-gulungan itu dibuat dan disalin oleh sebuah sekte kecil Yahudi bernama Essenes. Kelompok ini tampaknya menetap di Qumran pada masa pemerintahan Imam Besar Yahudi dan penguasa yang disebut John Hyrcanus I. Ia berkuasa antara 135 dan 104 sebelum Masehi. Apa yang terjadi setelah masa itu? Peneliti hanya bisa menduga-duga.
Salah satu pemikiran menyatakan bahwa pada 31 sebelum Masehi, setelah gempa hebat (yang memang terjadi pada waktu itu), sekte Essenes memutuskan bahwa mereka telah menerima perintah dari Tuhan untuk pergi ke pengasingan dan akhirnya beremigrasi. Teori ini dinilai cukup masuk akal karena jelas dari bukti arkeologi situs itu tidak lagi berpenghuni.
Masyarakat tinggal dan membangun kembali tempat itu sekitar empat Masehi. Pada tahun 68 atau 69, selama pemberontakan Yahudi pertama, pasukan Romawi yang kuat memulihkan ketertiban di Qumran. Saat itu, hanya setahun sebelum penghancuran Yerusalem oleh Titus.
Sekte Essenes dengan terburu-buru menyembunyikan gulungan-gulungan di tempat persembunyian di dekat mereka, yaitu di gua. Kemudian, mereka melarikan diri atau ada kemungkinan mereka dibantai. Permukiman mereka kemudian dihancurkan. Bangsa Romawi yang tidak mengetahui adanya gulungan atau acuh tak acuh terhadap gulungan itu meninggalkannya di gua-gua. Hingga akhirnya datanglah seorang gembala penasaran 1.900 tahun kemudian.