REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara (Korut) diduga telah meningkatkan intensitas eksekusi mati di tengah tekanan sanksi internasional terhadap militer mereka. Hal ini disampaikan Komandan Tinggi AS di Korea Selatan (Korsel), Jenderal Vincent K Brooks.
"Kami melihat beberapa peningkatan dalam eksekusi, terutama terhadap tokoh politik yang berada di unit militer, karena korupsi," ujar Jenderal Brooks, kepada Wall Street Journal.
Dalam beberapa bulan terakhir, media Korsel telah melaporkan beberapa kasus eksekusi pejabat Korut, termasuk eksekusi mati Park In-young, pejabat yang bertanggung jawab atas fasilitas uji coba rudal Pyongyang.
Selain itu, Korut juga diduga mengeksekusi mantan kepala militer Jenderal Hwang Pyong-yang yang dituduh telah menerima suap.
Jenderal Brooks juga mencatat adanya pergeseran dalam pola pembelotan dari Korut. "Kami melihat pemburuan pembelot terjadi di daerah yang biasanya tidak kami lihat, misalnya di Zona DMZ (Zona Demiliterisasi di perbatasan)," ujar Brooks.
Baca juga, Uni Eropa Perluas Sanksi Terhadap Korut.
Sementara itu, Korut juga dilaporkan telah mengurangi intensitas latihan militer musim dingin karena sanksi keras terhadap program nuklir dan senjata mereka mulai berpengaruh. Latihan militer, yang biasanya berlangsung dari Desember hingga Maret, dimulai terlambat dan tidak sebesar seperti sebelumnya.
PBB telah memberlakukan pembatasan besar-besaran untuk impor minyak dan produk minyak sulingan ke Korut. Sanksi ini mungkin telah memaksa negara itu untuk mengurangi aktivitas militer guna menghemat bahan bakar.
Kim Jong un
"Hal ini akan berpengaruh pada kesiapan pasukan darat. Namun unit militer harus berlatih untuk mempertahankan kemampuan mereka," kata Joseph Bermudez, analis militer Korut dari Institut AS-Korea Johns Hopkins.
Pekerja Korut di luar negeri, yang telah menjadi sumber utama pemasukan mata uang asing untuk rezim Kim Jong-un, akan segera dikirim pulang ke negara itu. Ketentuan ini telah ditetapkan dalam sanksi baru yang dikeluarkan oleh PBB pada Agustus lalu.
Pada Selasa (30/1), Angola menjadi negara terbaru yang menghentikan semua kontraknya dengan perusahaan konstruksi Korut, Mansudae. Angola telah meminta semua karyawan perusahaan itu untuk pergi.