Ahad 04 Feb 2018 09:24 WIB

Rancangan KUHP Baru Berpotensi Penjarakan Pengritik Presiden

Secara historis, dia menjelaskan, pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andi Nur Aminah
Seorang mahasiswa UI diamankan oleh Paspampres saat mengacungkan buku kuning untuk Presiden Jokowi, di sela Dies Natalis UI, Jumat (2/2)
Foto: Istimewa
Seorang mahasiswa UI diamankan oleh Paspampres saat mengacungkan buku kuning untuk Presiden Jokowi, di sela Dies Natalis UI, Jumat (2/2)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa jika nantinya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan oleh DPR dan pemerintah, akan berpotensi berat terhadap tindakan menyampaikan ekspresi. Contohnya, seperti kritik yang dilakukan oleh Ketua BEM UI dapat dikenakan pidana penjara.

Managing Director ICJR, Erasmus Napitupulu memgatakan RKUHP bisa memidanakan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa yang memberi 'kartu kuning' pada presiden. Dia bisa terjerat Pasal 263 ayat 1. Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Secara historis, dia menjelaskan, pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste (melindungi martabat keluarga kerajaan Belanda, Red). "Pasal ini bermaksud menempatkan kepala negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik, yang sebelumnya diatur dalam pasal 134 KUHP," ungkapnya, Ahad (4/2).

Penerapaan pasal 134 KUHP pernah menimpa aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Monang Johannes Tambunan, yang karena ucapannya dianggap merendahkan nama baik presiden saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Monang berorasi karena kekecewaan terhadap kinerja program 100 hari SBY. "Atas perbuatan Monang pada 9 Mei 2005, ia dihukum pidana selama 6 (enam) bulan penjara melalui penggunaan pasal 134 KUH," ujarnya.

Karena itu, ICJR berpandangan pasal lesse majeste tersebut, telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Namun sangat disayangkan RKUHP yang baru, justru memasukkan aturan masa kolonialisme ini.

Menurutnya, ketentuan ini ke depan akan sangat dimungkinkan digunakan untuk menekan kritik dan pendapat terhadap presiden dan wakil presiden. Hal ini nampak dari tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan presiden dapat dianggap sebagai penghinaan. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement