REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemukulan yang dilakukan seorang oknum murid SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur, terhadap gurunya hingga meninggal dunia menjadi pekerjaan besar (PR) bagi semua elemen bangsa.
Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang membidangi persoalan pendidikan, Fahira Idris, mengatakan, peristiwa memilukan yang terjadi di Sampang, Madura itu bukan hanya menjadi persoalan dunia pendidikan saja, tetapi menjadi persoalan besar bangsa yang harus segera ditemukan solusinya agar menjadi peristiwa yang terakhir.
“Kami (DPD) sampaikan penyesalan dan duka yang mendalam atas kejadian ini. Peristiwa ini, bagi saya, bukan hanya persoalan dunia pendidikan saja, bukan hanya menjadi tanggung jawab stakeholder pendidikan mulai dari menteri, kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, hingga guru dan murid, tetapi menjadi tanggung jawab dan PR kita bersama sebagai sebuah bangsa,” kata Fahira Idris di sela-sela kunjungan kerja DPD di Kota Banda Aceh, Senin (5/2).
Menurut Fahira, perisitiwa tersebut juga menandakan ekosistem pendidikan belum sepenuhnya terbangun dengan baik sehingga seolah-olah sekolah dan guru seperti berjalan sendiri mendidik anak-anak Indonesia yang juga merupakan generasi penerus bangsa ini. Sekolah, lingkungan masyarakat, dan keluarga yang merupakan pilar utama ekosistem pendidikan belum menyatu dengan baik karena masih terkesan bergerak sendiri-sendiri.
Selain itu, kejadian ini menjadi peringatan bagi pemerintah karena ternyata revolusi mental yang mengedepankan pendidikan karakter belum sepenuhnya terkondisikan di sekolah-sekolah.
Bagi Fahira, sekuat apa pun sekolah membentuk karakter anak-anak menjadi pribadi yang baik tetapi kondisi rumah, orang tua, dan lingkungannya memperlihatkan nilai-nilai yang sebaliknya, akan membuat anak mudah rapuh. Oleh karena itu, akses informasi tentang pendidikan secara lengkap harus dibuka selebar-lebarnya kepada orang tua dan komunitas agar mereka juga berperan mendorong ekosistem pendidikan.
Di sekolah, murid diajarkan sikap hormat dan antikekerasan, tetapi di rumah atau di lingkungan ada murid yang selalu melihat praktik kekerasan. Kondisi ini sangat berpotensi membuat murid tersebut menjadi pelaku kekerasan. Sama seperti guru atau orang tua yang melarang anak-anak merokok, tetapi dirinya sendiri perokok.
"Jadi, keluarga, terutama orang tua, dan lingkungan harus kita gerakkan bersama menjadi ekosistem pendidikan,” ujar Senator Jakarta ini.
Di luar itu semua, lanjut Fahira, meninggalnya guru Ahmad Budi Cahyono harus diusut tuntas. Pelaku, walaupun masih di bawah umur, tetap harus menjalani proses hukum yang tentunya harus sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Tentunya dia harus mempertanggjawabkan apa yang sudah dilakukannya. Namun, saat berhadapan dengan hukum karena dia masih anak-anak harus memperoleh perlakuan khusus yang layak untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Itu amanat undang-undang,” kata Fahira.