REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewaspadai modus baru penggunaan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) sebagai pemberian suap. "ATM ini memang sekarang menjadi model baru karena mereka bisa lebih nyaman, tidak perlu bawa-bawa uang Rp 1 miliar, mungkin harus bawa dua koper dan mudah dideteksi oleh penegak hukum," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Hal tersebut dikatakannya di sela-sela konferensi pers penetapan tersangka Bupati Ngada, Marianus Sae dan Direktur PT Sinar 99 Permai (S99P) Wilhelmus Iwan Ulumbu sebagai tersangka kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Menurut dia, modus yang digunakan yaitu dengan memberikan kartu ATM kepada penerima suap. Penerima tinggal mengambil uang dari kartu ATM itu.
"ATM diberikan, tinggal mengambil yang bersangkutan. Jadi, memang setiap modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi pasti akan berkembang,'' katanya. ''Ini diharapkan memang otomatis juga para penegak hukum akan dipaksa harus mengikuti modus operansi yang dilakukan oleh para pelaku.''
Dalam kasus yang menjerat Bupati Ngada, tersangka pemberi suap Wilhelmus membukakan rekening atas namanya sejak 2011. Wilhelmus memberikan ATM bank tersebut kepada Marianus pada 2015.
Total uang yang ditransfer maupun diserahkan secara tunai oleh Wilhelmus kepada Marianus sekitar Rp 4,1 miliar. Pemberian dilakukan pada November 2017 sebesar Rp 1,5 miliar secara tunai di Jakarta; Desember 2017 terdapat transfer Rp 2 miliar dalam rekening Wilhelmus; 16 Januari 2018 diberikan tunai di rumah Bupati Rp 400 juta; 6 Februari 2018 diberikan tunai di rumah Bupati Rp 200 juta.