Selasa 13 Feb 2018 17:42 WIB

Pimpinan KPK Dicecar Soal Pasal Imunitas Anggota DPR

Hari ini digelar rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan KPK

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (kiri) menyampaikan tanggapan bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kanan) dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (tengah) saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (13/2).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (kiri) menyampaikan tanggapan bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kanan) dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (tengah) saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (13/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mendapat kritikan dari sejumlah anggota Komisi III DPR saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada Selasa (13/2). Namun bukan terkait substansi agenda pembahasan, melainkan pernyataan Laode terkait revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Khususnya terkait pasal 245 yang mengatur ketentuan perlu pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam kaitab penegak hukum memeriksa anggota DPR. Syarif diminta menjelaskan kembali terkait penjelasan Pasal 245 UU MD3 atas komentarnya soal pasal tersebut.

Syarif mengungkapkan, norma baru di UU MD3 soal hak imunitas anggota DPR tidak sesuai dengan prinsip persamaan di dalam hukum (equality before the law). Karenanya, norma aturan sejenis di UU MD3 lama itu juga telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Karena saya yakin Pak Masinton dan saya pernah lulus pengantar ilmu hukum. Equality before the law itu adalah prinsip yang tak bisa kita tidak hormati dan karena itu pada putusan MK sebelumnya itu sudah ditiadakan, tapi dia keluar lagi," ujar Syarif di di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa (13/2).

Menurut Syarif, jika dihubungkan dengan kewenangan KPK dalam rangka untuk penindakan tindak pidana korupsi maka hal itu tidak berpengaruh. Lantaran di UU KPK dan KUHAP juga tidak mewajibkan KPK mendapatkan izin untuk memproses tindak pidana khusus, seperti korupsi.

Oleh karena itu lanjut Syarif, kalau ada norma di UU yang mengecualikan dan seakan itu berbeda dengan yang lain tentu tidaklah tepat kepada seorang pejabat dalam tindak pidana korupsi.

"Kami tidak dilindungi kalau melakukan tindak pidana korupsi, presiden tidak mendapatkan perlindungan kalau melakukan tindak pidana. oleh karena itu kalau ada pasal seperti itu di gedung yang mulia ini dan pernah belajar pengantar ilmu hukum, ya sudah," ujar Syarif.

"Kalau memang karena komentar saya seperti itu saya tidak diterima di gedung yang mulia ini saya rela keluar pak. Bukan hanya keluar dari ruangan, keluar dari KPK juga tidak apa-apa. itu kesadaran saya sebagai orang yang belajar ilmu hukum. Terima kasih," ujar Syarif.

Penyampaian Syarif itu pun langsung mendapat reaksi keras dari Anggota DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu yang menilai Syarif tidak memahami konteks pasal di UU MD3 tersebut. Lebih dari itu, Syarif juga kata Masinton belum membaca pasal tersebut sehingga tidak mengerti makna pasal itu jika dikaitkan dengan KPK.

"Apa yang disampaikan Laode ini karena beliau belum baca tapi mengomentari. Kalau berkaitan tindak pidana korupsi itu jelas di UU MD3 itu berkaitan pidana khsuus. Maka enggak ada itu izin ini. Artinya imunitas tidak berlaku pada tindak pidana ini makanya dibaca dulu pak," sindir Masinton.

Masinton kembali mengingatkan Syarif untuk berhati-hati dalam berkomentar terrkait hal-hal sensitif yang melibatkan lembaga lain. Terlebih saat ini memasuki tahun politik. Hal itu juga berlaku bagi pimpinan KPK lain maupun juru bicara KPK.

"Kan lucu kalau apa-apa kita komentari yang belum kita tahu kita komentar. Disiplin Pak. Tolong disiplin. Kita minta pimpinan KPK bukan hanya Pak Laode. tapi juga pimpinan lain. Karna ini tahun politik Pak menyangkut penyebutan nama orang," ujar Masinton.

Terlebih jika pernyataan KPK, merugikan pihak-pihak yang akan berkancah dalam pesta demokrasi baik Pilkada Serentak 2018 maupun Pemilu 2019. "Oleh KPK karena merasa moralnya paling tinggi itu dan dianggap dijadikan alat poltik untuk men-downgrade dan bunuh karakter seseorang," ujar Masinton.

Hal sama diungkapkan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik bahwa Syarif sebenarnya tidak mengerti pasal tersebut. "Saya awalnya berpikir ini Bang Laode ini belum baca pasal 245 ini, pernyataan abang seolah olah saya dan anggota Komisi III DPR ini sebagai sarjana hukum yang tidak mengerti soal hukum, abang tidak baca itu. ini perlu tahu bahwa DPR ini tidak pernah meletakkan diri kami di atas warga negara lain," ujar Erma.

Karenanya, ia menegaskan agar pimpinan KPK tidak bermain opini dan menyudutkan DPR sebagai lembaga yang berkinerja buruk. Untuk itu ia juga meminta agar KPK disiplin dalam menyampaikan pernyataan sesuai dengan perundangan.

"Karena ini sudah sering begini, jubir KPK juga sering mengatakan ini, tolonglah ini yang sperti ini disiplin. Jangan KPK bermain opini," ujar Erma.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement