Selasa 20 Feb 2018 15:46 WIB

Haruskah Mengguyur Rambut Saat Mandi Besar?

Proses mandi besar sama antara lelaki dan perempuan.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Kamar mandi (ilustrasi)
Foto: safebee
Kamar mandi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Secara garis besar, tidak ada perbedaan yang signifikan terkait tata cara mandi junub antara laki-laki dan perempuan. Ada dua hal utama yang mesti terpenuhi, yakni niat dan  membasahi seluruh anggota tubuh. Niat itu ditujukan untuk menghilangkan hadas besar, baik karena bersuci dari haid dan nifas atau pascaberhubungan intim.

Kewajiban niat dan membasahi seluruh bagian tubuh itu, Prof Abdul Karim Zaidan dalam karyanya yang berjudul al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati menjelaskan topik ini seperti ditegaskan di surah al-Maidah ayat ke-6. “Dan jika kalian dalam keadaan junub, maka mandilah.”

Maka, hendaknya meratakan seluruh air sebisa mungkin ke bagian-bagian yang tersembunyi, seperti di lubang hidung dan mulut. Ini bisa lewat berkumur ataupun mengisap air ke dalam hidung, lalu segera mengeluarkannya.

Di kondisi tertentu, ketentuan ini bisa fleksibel, bila tidak memungkinkan karena faktor sakit, misalnya. Seperti, ada luka di bagian tubuh tertentu yang mewajibkan terhindar dari air. Maka, cukup mengusap halus bagian tersebut.

Prof Abdul Karim menjelaskan proses mandi junub, yakni dimulai dengan membasuh kedua tangan dengan bersih menggunakan sabun. Basuhlah (maaf) alat vital dan bersihkan noda-noda yang tersisa. Lalu, berwudhulah layaknya hendak shalat.

Sisakan membasuh kedua kaki sementara waktu hingga usai proses mandi. Mulailah membasahi kepala dan tubuh diawali dari sisi sebelah kanan. Menyusul kemudian sisi kiri tubuh Anda. Lakukan langkah ini sebanyak tiga kali. Jangan lupa, berniat untuk bersuci dari hadas besar. Ratakan air ke seluruh anggota tubuh. Kemudian, basuhlah kedua kaki secara merata. Rentetan prosesi mandi junub di atas tidak berbeda jauh dengan cara mandi junub versi perempuan.

Bila lelaki, sudah tentu jelas, hendaknya meratakan air, termasuk rambut hingga ke akarnya dan bulu kumis atau jenggot. Bagaimana dengan perempuan yang berambut lebat. Apa hukum mengguyur dan meratakan keseluruhan rambutnya?          

Prof Abdul Karim menguraikan ada dua kondisi yang berbeda dengan konsekuensi hukum yang tak sama pula. Pertama, jika Muslimah yang bersangkutan mandi besar akibat mimpi basah ataupun pascaberhubungan intim maka para ulama sepakat tidak wajib memijat, lalu meratakan (naqdh as-sya’r)) air hingga merata ke rambutnya. Ini seperti hadis riwayat Ummu Salamah.

Di hadis itu, Ummu Salamah pernah bertanya langsung kepada Rasulullah apakah ia harus membasahi keseluruhan rambutnya secara total.  Rasulullah menjawab tidak perlu melakukan hal itu bila disebabkan oleh mimpi besar/ bersenggama. Cukup dengan usapkan air tiga kali ke rambut dan mengguyur saja. “Itu sudah cukup menyucikan,” sabda Rasul. Salah satu hikmah di balik ketidakwajiban tersebut, agar tidak membebani Muslimah. Ini mengingat frekuensi kedua aktivitas itu terkadang sering terulang. 

Tetapi, para ulama berbeda pandangan bila mandi besar itu karena bersuci dari haid atau nifas. Menurut kubu yang pertama, wajib meratakan air ke seluruh rambut dari ujung hingga pangkal rambut. Pendapat ini disampaikan oleh al-Hasan, Thawus, dan sebagian ulama bermazhab Zhahiri, berikut sejumlah tokoh dari Mazhab Hanbali.

Pendapat mereka merujuk hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Di hadis itu, Aisyah memberitahukan bahwa dirinya tengah haid saat wukuf di Arafah. Usai berhenti dari haid, Rasul mengarahkan Aisyah agar segera mandi dan meratakan air ke seluruh bagian rambutnya. Dari ujung hingga akar. “Ratakan, lalu sisirlah,” kata Rasul.

Sedangkan, mayoritas ulama berpendapat, hukum meratakan air tersebut cukup sunah, tidak sampai pada level wajib. Opsi ini juga dipilih oleh sebagian ulama bermazhab Hanbali. Menurut mereka, hadis Ummu Salamah itu, tidak hanya menyangkut mandi besar karena bersenggama ataupun mimpi besar. Tetapi, maksudnya juga mandi besar akibat nifas atau haid. Ini diperkuat pula dengan hadis riwayat Aisyah oleh Muslim. Hadis itu tidak menyebutkan kewajiban naqdh, seperti yang diklaim oleh kelompok pertama.         

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement