REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Serangan terhadap sejumlah ulama yang belakangan terjadi diduga dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Kepolisian harus melakukan evaluasi dan memastikan hal itu agar ODGJ tak jadi kambing hitam.
Merespons kabar kekerasan ulama oleh orang yang diduga ODGJ, dokter ahli penyakit kejiawaan, dr Albert Maramis, SpKJ menjelaskan, bila jumlah kasusnya sedikit bisa jadi kemungkinan kebetulan. Kalau kasusnya banyak maka ini patut dicurigai. "Tapi memang masyarakat bertanya-tanya," ujar dia.
Hanya, tuntutan agar kepolisian menyelidiki hal ini berpotensi langgar HAM. Sebab, beberapa kabar yang ia terima, Polres-Polres meminta data pasien ODGJ ke dinas-dinas kesehatan. Padahal, data pasien adalah privasi dan hanya bisa diminta atas perintah pengadilan.
"Saya khawatir ODGJ jadi kambing hitam. Kasus dukun santet puluhan tahun lalu, ODGJ yang jadi sasaran," ungkap Albert.
Yang harus kepolisian lakukan adalah menangkap pelaku serangan itu dan memproses hukum. Kalau diduga ODGJ, kepolisian bisa mengajukan permintaan evaluasi pemeriksaan jiwa sehingga unsur hukumnya dapat dipastikan. "Mekanisme itu yang harus diamankan, bukan mengejar-ngejar ODGJ," kata Albert.
Sebab buntutnya, bisa muncul kekerasan terhadap ODGJ. Secara statistik, kekerasan oleh ODGJ lebih sedikit jumlahnya dibandingkan orang normal.
Sebelumnya, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri meminta masyarakat untuk tidak terprovokasi, bahkan memprovokasi kabar peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama yang marak belakangan ini. Polri sendiri mengaku tak berpangku tangan dengan terus menggali data dan fakta atas peristiwa itu.
Berdasarkan data yang dimiliki Bareskrim Mabes Polri, sudah ada 21 peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama. Di Aceh, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, masing-masing kota itu terjadi 1 peristiwa. Sementara Jawa Timur sebanyak 4 peristiwa dan Jawa Barat, yaitu 13 peristiwa. Bareskrim Mabes Polri menyatakan seluruh peristiwa itu murni kriminal biasa dengan beragam motif.