REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK ternyata belum efektif untuk meningkatkan Skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia. Sebab, aparat yang dinilai sangat kompleks terkait penegakan hukum, politik, demokrasi dan lainnya.
"Apalagi eksekutif dan legislatif , ini di luar kerja KPK. Jadi mari kita berubah sekarang juga," kata Saut, Jumat (23/2).
Menurutnya, salah satu cara agar IPK tidak stagnan adalah melakukan revisi pada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "Kalau mau sistematis, massive dan terstruktur (TSM) , yang harus diubah UU Tipikor agar membawa impact," ucapnya.
Lalu sistem penggajian pada lingkup kerja risiko tinggi antara lain hakim, polisi , TNI ,jaksa , petugas pajak atau cukai, inspektorat dan lainnya. "Kalau dana cukup dinaikkan semua pekerja pemerintah Bupati, walikota, gubernur, guru, dosen dan lainnya," ujarnya.
Saut menilai sejak merdeka dari penjajahan pada 1945, negara tidak serius membangun karakter rakyatnya. "Soal integritas itu milik negara ( terkait dengan penegakan hukum yang membawa jera) , soal moral dan prilaku bisa jadi itu milik orang tua, paman, guru dan lainnya. Ketika dua pemilik ini tidak sinkron maka integritas kita semua (tidak saja pejabat, wali kota, menteri gubernur, DPR atau DPRD) dan rakyat kecil berpotensi terganggu," jelasnya.
Sehingga, bila ada kesempatan untuk melanggar lampu merah atau melanggar UU korupsi atau lainnya maka akan dilakukan karena internal kontrol atau nilai-nilai kebaikan tidak hidup. Saut pun menyebut salah satu buktinya adalah UU Tipikor 1971 yang tidak berjalan adapula UU Tipikor 1999 yang diubah dan tidak jadi living law.
"Sehingga jangan heran KPK sudah belasan tahun signifikansinya rendah, lihat saja di IPKnya tahun ini 37 itu," ucapnya.
Skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia pada tahun lalu adalah 37 poin. Skor ini tak berubah dibandingkan survei pada 2016. Peneliti Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko mengatakan, skor CPI yang dibuat berada pada rentang 0-100. Poin 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan bersih dari korupsi. Dengan skor yang diraih Indonesia, artinya Indoenesia saat ini masih sangat jauh dari kata bersih untuk korupsi.
"Hal ini (skor 37) menunjukkan stagnasi upaya berbagai pihak, khususnya pemerintah, kalangan politisi dan pebisnis, dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (22/2).
Ia menuturkan, dalam lima tahun terakhir, nilai CPI Indonesia tidak mengalami peningkatan signifikan. Pada 2013, skor CPI berada di angka 34, 2014 naik menjadi 34 poin, 2015 sebesar 36 poin, dan 2016 serta 2017 hanya berada di angka 37 poin.
Indonesia sebenarnya tidak sendiri mendapat angka tersebut. Selain Indonesia dari 180 negara yang ikut disurvei terdapat Brasil, Kolombia, Panama, Thailand, dan Peru yang juga mendapatkan skor 37 poin. Sementara lima negara yang memiliki poin tinggi dalam CPI adalah Selandia Baru (89), Denmark (88), Finlandia (85), Norwegia (85), dan Swiss (85).
Di kawasan Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang memiliki skor CPI mencapai 84. Indonesia malah kalah dibandingkan Brunei Darussalam yang memiliki skor 62 pada 2017. Timor Leste pun mendapat skor lebih baik mencapai 38. Namun, skor Indonesia masih lebih baik dibandingkan Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Myanmar.
Untuk meningkatkan skor CPI, Transparency International Indonesia memberikan rekomendasi bagi seluruh lembaga pemerintah. Kepada Presiden Joko Widodo, beliau diharap bisa mempercepat penandatanganan rancangan peraturan presiden antikorupsi.
Bagi DPR dan partai politik diminta untuk menjalankan agenda antikorupsi, terutama dalam menghadapi tahun politik 2018 dan 2019. DPR dan Parpol pun harus berani menolak segala bentuk korupsi.
"Kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus ada upaya sinergi lebih baik dengan aparat penegak hukum. Penguatan kelembagaan KPK melalui optimalisasi anggaran, kemampuan, dan jumlah personel dalam mendukung pencegahan dan penanganan korupsi," ujar Wawan.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum harus bisa mengembangkan dan mengefektifkan pelaksanaan standardisasi transparansi dan akuntabilitas dana partai politik baik yang bersumber dari perorangan atau perusahaan. Sedangkan kalangan swasta juga bisa mengembangkan sistem antikorupsi internal dan turut aktif dalam upaya pencegahan korupsi dengan menerapkan standar bisnis bersih dan antikorupsi.