REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 mengungkap ada 340 ribu anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun. Angka itu sekitar 46 persen dari total jumlah perkawinan di Indonesia.
Realitas tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perkawinan anak terbanyak nomor tujuh di dunia. Sementara, di Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di urutan kedua setelah Kamboja.
Ketua Dewan Pengurus International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Dian Kartika Sari menyebut, tingginya angka perkawinan anak tersebut telah menjadi penyebab ketimpangan di Indonesia. Sebab, perkawinan anak telah melanggengkan kemiskinan.
Dian menuturkan, perkawinan anak merupakan hulu dari sejumlah permasalahan, mulai dari putus sekolah, menurunnya derajat kesehatan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kematian ibu melahirkan, hingga gizi buruk (stunting)
Ketika seorang anak dinikahkan, lanjut Dian, maka sejak itu pula ia telah kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan, kesempatan kerja dan hak untuk bertumbuh kembang. "Semua kesempatannya hilang dan dia akan terjebak terus dalam kemiskinan," ujarnya, dalam sebuah sesi diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (1/3).
Dian, yang juga menjabat sebagai Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengungkap, umumnya orang tua menikahkan anak mereka karena persoalan ekonomi. Dengan menikahkan anak, orang tua merasa beban mereka berkurang karena jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan ikut berkurang.
Padahal, faktanya perkawinan anak membuat hidup makin melarat. Berdasarkan pengamatannya, Dian menyebut, umumnya perkawinan dini hanya bertahan dua tahun. Setelah itu suami akan meninggalkan istrinya yang masih usia anak-anak, dengan beragam alasan.
Buntut dari hal itu, sang istri yang umumnya tidak berpendidikan tinggi dan tak memiliki keterampilan akan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja di sektor informal yang tidak dilindungi, seperti menjadi TKI ilegal, atau yang lebih parah terjerumus dalam prostitusi anak.
Karena itu, agar kasus perkawinan anak tidak terus terulang, Dian mendesak pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang Perkawinan. Ia memberi penekanan revisi pada pasal 7 Undang-Undang tersebut yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan.
"Batas usia minimal perkawinan harus dinaikkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun bagi perempuan," ujarnya.
Yang tak kalah penting, Dian mengatakan, Undang-Undang tersebut juga harus membatasi mekanisme dispensasi. Sehingga tidak banyak lagi orang yang memanfaatkan kelonggaran itu untuk menikahkan anak di bawah usia batas minimal.
"Tambahkan juga pasal yang wajibkan negara dan masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan dan penghapusan pernikahan anak," tegasnya.