Kamis 08 Mar 2018 08:34 WIB

Defisit Perdagangan AS Terus Naik

Defisit perdagangan ini makin lebar saat Trump naik menjadi presiden.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Andi Nur Aminah
Bisnis properti di Amerika Serikat
Foto: VOA
Bisnis properti di Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Defisit neraca perdagangan AS terus naik, melebihi rata-rata dalam sembilan tahun terakhir. Para pengamat menilai obsesi Presiden AS Donald Trump soal America First yang bertujuan menyelesaikan defisit perdagangan diprediksi akan gagal.

Defisit perdagangan ini makin lebar saat Trump naik menjadi presiden. Belakangan, AS juga berencana menerapkan tarif beberapa barang yang dikhawatirkan malah memicu perang dagang.

Menurut Kepala Ekonom MUFG di New York Chris Rupkey, tim ekonomi Trump tengah berusaha membalikkan arah jam perdagangan. Namun, banyak orang ragu mereka akan berhasil karena mereka mengintervensi terlalu jauh keputusan bisnis perusahaan-perusahaan di AS. "Yang terjadi adalah perang dagang dengan diri kita sendiri," kata Rupkey seperti dikutip Reuters, Rabu (7/3).

Defisit perdagangan AS sendiri sudah berlangsung selama beberapa dekade dan dalam 30 tahun ini menunjukkan tanda pemburukan. Sebab, banyak pelaku industri manufaktur yang pindah ke negara seperti Cina.

Departemen Perdagangan AS menyampaikan, defisit perdagangan AS naik 5,0 persen menjadi 56,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 778 triliun). Angka itu merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2008 dan melampaui prediksi para ekonom sebesar 55,1 miliar dolar AS (sekitar Rp 758 triliun).

Defisit perdagangan dengan dua mitra dagang utama AS yakni Cina dan Kanada juga makin dalam. Defisit perdagangan dengan Cina sendiri naik 16,7 persen menjadi 36 miliar dolar AS (sekitar Rp 495 triliun) sejak September 2015. Sementara defisit perdagangan dengan Kanada naik 65 persen dalam tiga tahun ini menjadi 3,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 50 triliun).

Pada akhir Januari 2018 lalu, Trump sudah memperbesar tarif impor panel surya dan mesin cuci besar. Pekan lalu, Trump mengumumkan akan menaikkan tarif baja menjadi 25 persen dan tarif alumunium menjadi 10 persen untuk melindungi pasar domestik.

Kebijakan itu memang populer secara politik mengingat basis politik Trump adalah kelas pekerja. Apalagi, AS terdampak signifikan dengan penutupan sejumlah pabrik dan ketatnya persaingan impor.

Kekhawatiran soal tarif itu juga menyulut ketegangan dalam negosiasi Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dimana AS, Kanada, dan Meksiko tergabung di dalamnya. Trump meminta ada renegosiasi pakta perdagangan yang pada intinya mengutamakan kepentingan Washington.

Kekhawatiran perang dagang benar-benar akan terjadi makin menguat dengan mundurnya Ketua Penasihat Ekonomi Trump, Gary Cohn. Mundurnya Cohn berefek pada lesunya pasar modal dan naiknya harga di pasar obligasi. Dolar juga menguat terhadap mata uang utama lain.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement