Kamis 08 Mar 2018 14:07 WIB

Aktivis Tuntut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dituntaskan

Aturan ini sangat diperlukan untuk melindungi perempuan dan anak

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Perwakilan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, Masrurah memberikan sambutan dalam momen Hari Perempuan Internasional 2018 di Denpasar, Bali, Kamis (8/3).
Foto: Mutia Ramadhani
Perwakilan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, Masrurah memberikan sambutan dalam momen Hari Perempuan Internasional 2018 di Denpasar, Bali, Kamis (8/3).

REPUBLIKA.CO.ID,  DENPASAR -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masih menjadi polemik dan belum dibahas tuntas di DPR RI sampai hari ini. Perwakilan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, Masrurah mengatakan aturan ini sangat diperlukan untuk melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, baik itu fisik maupun psikis.

"Selama Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VIII sampai saat ini, kami masih belum menemukan persamaan persepsi. Kami mendorong DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan RUU PKS," kata Masrurah saat memeringati Hari Perempuan Internasional 2018 di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Kamis (8/3).

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PKS di DPR pada umumnya mengemukakan pandangan agama. Pandangan agama, menurut Masrurah tidak pernah satu. "Kita harus menggunakan pendekatan harmoni yang melihat relasi berkeadilan dalam gender," kata Masrurah.

 

(Baca: Perempuan Bali Diimbau Gunakan Hak Pilih Sendiri)

Pengesahan RUU PKS, kata Masrurah akan memperluas perlindungan terhadap perempuan. Jenis-jenis kekerasan seksual terus berkembang, sementara dalam UU KUHP yang berlaku saat ini hanya menyebut kekerasan seksual dalam konteks pencabulan, perkosaan, perzinahan, dan perbuatan asusila.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anak Srikandi Bali, Siti Sapurah mengatakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual anak masih tercatat sebagai kasus terbanyak di Indonesia, tak terkecuali di Bali. Data Polda Bali menunjukkan sepanjang 2015 ada 133 kasus kekerasan anak dan 63 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual anak.

Jumlahnya meningkat menjadi 177 kasus dan 81 kasus di antaranya kekerasan seksual anak pada 2016. Pada 2017, aparat mencatat 146 kasus kekerasan terhadap anak dan 65 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual anak.

"Bali adalah daerah dengan tingkat kekerasan seksualnya tertinggi setelah Medan dan Jakarta," kata wanita yang akrab disapa Ipung ini.

 

RUU PKS memperluas jenis-jenis kekerasan seksual yang berkekuatan hukum, mulai dari pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan sterilisasi dan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Berbagai bentuk kekerasan seksual itu faktanya hari ini dialami oleh perempuan dewasa, anak perempuan, dan mereka yang berkebutuhan khusus, seperti penyandang disabilitas.

 

Aturan baru ini nantinya juga mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban. RUU PKS membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dan anak dari sisi penegakan hukum, serta mendorong peran negara lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa akan datang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement