REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, capres tunggal pada pilpres 2019 kecil kemungkinan bisa terjadi. Hal itu karena sudah diatur dalam UU Pemilu. Apalagi, kata Titi, calon tunggal hanya akan merugikan parpol itu sendiri.
"Dalam pemilu serentak parpol akan dirugikan jika hanya ada capres tunggal. Bisa memicu skeptisme masyarakat dan menurunnya angka partisipasi pemilih dan bisa berakibat rendahnya legitimasi," tegas Titi, Kamis (8/3).
Menurut Titi. UU Pemilu secara eksplisit berusaha sebisa mungkin menghendaki pilpres tidak diikuti hanya oleh satu calon tunggal. Upaya itu, kata Titi, dilakukan dengan, misalnya, mengatur Pasal 229 ayat (2) dan Pasal 235 UU Pemilu. Pasal 229 ayat (2) UU 7/2017 mengatur bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak pendaftaran pasangan calon.
"Dalam hal, pendaftaran satu pasangan calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Parpol peserta Pemilu. Pendaftaran satu pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik Pemilu yang mengakibatkan Parpol peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon," jelas Titi.
Selanjutnya, dalam pasal 235 UU 7/2017, Titi menerangkan, hanya terdapat satu pasangan calon, KPU memperpanjang jadwal pendaftaran pasangan calon selama 2 x 7 hari. Sementara, Parpol atau gabungan Parpol yang memenuhi syarat, tapi tidak mengajukan bakal pasangan calon maka akan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.
Dalam hal telah dilaksanakan perpanjangan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih terdapat satu pasangan calon, tahapan pelaksanaan pemilu tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Ketua DPP PDIP Arteria Dahlan mengungkapkan aturan soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak akan menciptakan kondisi di mana capres pada pilpres 2019 hanya satu pasang atau tunggal.
"Bukan PT (yang membuat kondisi tersebut), PT ini hanya aturan main untuk mengajukan capres. Masalahnya adalah kita belum melihat adanya capres yang mampu mengungguli Pak Jokowi dalam segala hal, baik elektabilitas, kualitas, kompetensi, dan integritas," kata dia.
Keadaan tersebut menyebabkan banyak parpol menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo sebagai bakal capres pejawat pada pilpres 2019. Dampaknya, menurut Arteria, tentu akan terjadi benturan dengan tokoh-tokoh dari parpol lain yang ingin maju dalam kontestasi pilpres.
"Jadi, tidak ada yang salah dengan PT-nya. Salahnya, kita belum menghasilkan alternatif pemimpin untuk diusung sehingga parpol pun bergeming untuk ke Jokowi. Sehingga, konsekuensinya kalau tidak hati-hati ya ini bisa saja calon tunggal, tapi saya yakin tidak akan calon tunggal," kata dia yakin.
Sebelumnya, Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menegaskan, partainya tidak akan mendukung koalisi pemerintahan yang mengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, sekalipun jika pemilihan presiden (pilpres) 2019 hanya memunculkan capres tunggal, PBB siap mendukung kotak kosong.
Yusril menambahkan, dirinya melihat kecenderungan akan adanya calon tunggal pada pilpres 2019 mendatang. Atau setidaknya hanya akan mengulang pilpres 2014 silam, yang hanya mempertontonkan dua pasang calon (paslon) bertarung. Apalagi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga memperbesar kemungkinan adanya calon tunggal.
(Pengolah: muhammad hafil).