REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Donald Trump menyatakan siap bertemu dengan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un. Menurut Trump, kesediaannya untuk duduk bersama Kim akan menjadi pertaruhan terbesar dalam kebijakan luar negerinya sejak ia pertama kali menjabat.
"Sebuah pertemuan sedang direncanakan," tulis Trump di akun Twitter pribadinya, setelah ia bertemu dengan Kepala Kantor Keamanan Nasional Korea Selatan (Korsel), Chung Eui-yong di Gedung Putih, Kamis (8/3).
Chung mengatakan, Trump sepakat untuk bertemu dengan Kim pada Mei mendatang. Namun seorang pejabat senior AS mengatakan waktu dan tempat pertemuan yang tepat masih akan ditentukan lebih lanjut.
Kepada Trump, Chung yang telah bertemu Kim pada Senin (5/3), menyampaikan lagi komitmen Korut untuk melakukan denuklirisasi di semenanjung Korea. Pyongyang juga sepakat untuk menangguhkan uji coba nuklir dan rudal selama perundingan dengan AS berlangsung.
"Kim Jong-un berbicara tentang denuklirisasi dengan Perwakilan Korea Selatan, bukan hanya pembekuan. Juga, tidak ada pengujian rudal oleh Korea Utara selama periode waktu ini. Kemajuan besar telah dibuat, tapi sanksi akan tetap ada sampai tercapai kesepakatan," ujar Trump.
Pertemuan antara Kim dan Trump akan menjadi sebuah kemajuan besar, setelah keduanya sempat bertukar retorika keras di tahun lalu. Korut juga sebelumnya telah banyak melakukan serangkaian uji coba rudal yang diklaim bisa mencapai seluruh daratan AS. "Kim berjanji Korea Utara akan menahan diri untuk tidak melakukan uji coba nuklir atau rudal lagi. Dia menyatakan keinginannya untuk bertemu Presiden Trump secepatnya," kata Chung.
Chung dan Trump juga membahas mengenai latihan militer gabungan antara AS dan Korsel. Chung mengatakan, Kim sebenarnya memahami latihan militer gabungan rutin antara kedua negara itu harus dilanjutkan. Pyongyang sebelumnya penah menuntut agar latihan gabungan tersebut dihentikan agar perundingan dengan AS dapat dimulai.
Sejumlah pihak mewaspadai tawaran diplomatik Korut karena rekam jejak negara tersebut yang pernah mengingkari komitmen internasional. Hal itu menggagalkan upaya pelucutan senjata yang pernah dilakukan pemerintahan Presiden AS Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama.
Saat kepempimpinan Clinton, pada Oktober 2000, Menteri Luar Negeri Madeleine Albright mengadakan pembicaraan di Pyongyang dengan pemimpin Korut saat itu yaitu Kim Jong-il, ayah dari Kim Jong-un.
Seorang pejabat senior pemerintah mengatakan Trump setuju untuk bertemu Kim karena Kim adalah satu-satu orang yang dapat mengambil keputusan berdasarkan sistem otoriter. Namun, sampai saat ini belum ada komentar publik dari Korut mengenai isi pertemuan dengan delegasi Korsel.
"Mari kita dengar dari Korut sendiri apa yang mereka usulkan dan apa yang ingin mereka lakukan. Ada banyak alasan untuk berhati-hati, mengingat rekam jejak mereka," kata Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Timur dan Pasifik, Daniel Russel.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan dia telah melakukan pembicaraan telepon dengan Trump. Menurutnya, mereka sepakat tekanan masih perlu diterapkan di seluruh dunia terhadap Korut.
Abe menambahkan, dia berharap dapat mengunjungi AS di awal bulan depan untuk bertemu dengan Trump guna membahas masalah Korut dan di isu-isu lainnya. "Kami menyambut baik perubahan sikap Korut. Jepang dan AS tidak akan goyah dalam pendiriannya yang tegas, kami masih akan memberikan tekanan maksimal sampai Korut melakukan tindakan nyata dan dapat diverifikasi untuk tidak melakukan pengembangan rudal nuklir," ujar Abe.
Presiden Korsel Moon Jae-in mengatakan sanksi tidak boleh dikurangi hanya demi perundingan. Menurutnya, denuklirisasi di semenanjung Korea seharusnya bisa menjadi tujuan akhir perundingan.
Sementara Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, meminta AS dan Korut untuk mengadakan pembicaraan sesegera mungkin. Namun, ia memperingatkan segala sesuatu mengenai masalah ini tidak akan berjalan mulus.
Baca juga: Harga Minyak Naik Jelang Pertemuan Trump dan Kim Jong-un