Selasa 13 Mar 2018 16:07 WIB

Rukhsah dan Kemudahan dalam Agama

Pengertrian rukhsah dalam kaidah ushul fikih adalah keringanan bagi manusia.

Red: Agung Sasongko
Beribadah/ilustrasi
Beribadah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Manusia diciptakan Allah hakikatnya hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Bekal yang luar biasa ini mesti digunakan oleh manusia untuk total menghamba kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Bertakwalah engkau kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa.” (QS Ali Imran: 102).

Allah menyuruh kita untuk tidak sekejap waktu pun bermaksiat atau berleha-leha. Setiap detik kita harus melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Namun, Allah SWT juga menciptakan manusia dengan segala keterbatasan. Fisik manusia tidak akan bisa bekerja selama 24 jam terus-menerus. Beberapa mufasir pun berpendapat, ayat 102 surah Ali Imran di atas telah di-mansukh (diganti hukumnya) dengan ayat 16 surah at-Taghabun. “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.”

Dalam khazanah fikih, bentuk kelonggaran dalam ibadah ini disebut rukhsah yang secara bahasa bermakna keringanan atau kelonggaran. Pengertrian rukhsah dalam kaidah ushul fikih adalah keringanan bagi manusia mukallaf dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu karena ada kesulitan. Beberapa ulama mendefisinikan rukhsah sebagai kebolehan melakukan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) atau keterpaksaan (ad-darurat).

Hukum rukhsah pada dasarnya adalah ibahah (dibolehkan) secara mutlak karena sekadar adanya kebutuhan atau karena keterpaksaan. Jika unsur kebutuhan sudah terpenuhi dan keterpaksaan sudah hilang, maka hukumnya kembali ke semula, yakni azimah (melakukan seuatu perbuatan seperti yang telah ditetapkan Allah SWT).