REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak permintaan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, untuk menunda penetapan tersangka bagi para calon kepala daerah yang sedang berkompetisi di Pilkada 2018. ICW menilai pernyataan Menkopolhukam berlawanan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih.
"Permintaan Menkopolhukam tersebut harus diabaikan oleh KPK. Pada saat yang sama, ICW juga meminta KPK untuk lebih berhati- hati dalam memproses calon kepala daerah yang terindikasi korupsi dan tidak terbawa dalam arus politik. Jika memang telah memiliki dua alat bukti, segera tetapkan pelaku menjadi tersangka," demikian siaran pers ICW yang diterima, di Jakarta, Selasa (13/3).
ICW menilai ada tiga alasan bagi KPK untuk mengabaikan dan menolak permintaan Menkopolhukan tersebut. Pertama, KPK adalah Lembaga Negara Independent yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari intervensi kekuasaan mana pun (Pasal 3 UU KPK). Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan KPK.
Kedua, Pemerintah telah mencampuradukkan proses politik dengan proses hukum. Penyelengaraan pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh menegasikan dan menyampingkan proses hukum. Sebab konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Ketiga, Proses hukum oleh KPK bagian dari cara untuk menghadirkan para calon pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. Sebab mekanisme ini yang tidak dilakukan oleh partai dalam menjaring kandidat yang akan mereka usung. ICW menilai pernyataan Menkopolhukam tersebut sesungguhnya berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi (pilkada) sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih. Sebab sesungguhnya pilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka untuk 5 tahun yang akan datang.
Manakala kontestan pilkada tersebut merupakan orang yang bermasalah seperti terindikasi korupsi, maka seharusnya proses hukum bisa membantu masyarakat agar tidak salah pilih pemimpin daerah mereka. Jika pemerintah berada dalam garis yang jelas dalam mendukung upaya pembernatasan korupsi, maka sesungguhnya pernyataan seperti ini harus dihindari. Lebih lanjut, menurut ICW, pernyataan dan usulan ini bisa dimaknai sebagai upaya secara tidak langsung untuk mengintervensi proses hukum.
"Seharusnya pemerintah bisa membedakan wilayah proses politik dan wilayah proses hukum yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun. Pemerintah juga tidak perlu ragu, proses hukum yang dijalankan KPK tidak akan menghentikan proses politik. Pada faktanya, penetapan tersangka oleh KPK terhadap 5 calon kepala daerah 2018 tidak menghentikan atau mengganggu tahapan pilkada yang akan dilaksanakan daerah tersebut dan juga tidak menciptakan gangguan keamanan," demikian siaran pers ICW.